“MAAF ...”
Harum menggeleng. Ia menyeka air mata yang lagi dan lagi meluncur bebas membasahi pipinya. Kenyataan pahit yang baru saja didengarnya seperti proyektil yang dengan sengaja ditembakkan tepat ke dadanya. Tembus hingga jantungnya. Rasanya sesak dan nyeri di dalam sana.
Ternyata doanya selama tiga bulan ini belum cukup membawa Yazar seutuhnya ke dalam dekapannya. Lagi, ada alur panjang yang harus ia dan Yazar lewati untuk meraih bahagia itu kembali.“Lo kenapa enggak bilang?” Suara Harum lesap ditelan isak tangis. Saling sahut dengan bunyi kardiograf yang rasanya mirip soundtrack melodrama. Membuat semuanya terasa makin menambah rebak dalam dada.
“Itu yang mau gue ceritain ke lo tadi.” Yazar yakin kalau Harum sudah mengetahui semuanya dari Dina, ibunya.
Akibat pukulan keras itu Yazar memang tak mengalami amnesia. Ketika ia bangun, ia mengingat semua kenangan dengan sempurna. Namun, ada memar yang cukup besar di otaknya. Itu yang membuatnya sering tiba-tiba pusing, mual, pingsan, bahkan kejang- kejang.
Harusnya tiga hari yang lalu Yazar menjalani operasi. Namun, mengingat resiko pasca operasi, Yazar memutuskan untuk menunda operasi itu dan kembali ke Indonesia.
“Sekarang tante tahu alasannya kenapa Yazar ngotot untuk pulang. Kamu, Harum. Kamu alasannya. Jadi, Tante mohon sama kamu. Bujuk Yazar agar mau menjalani operasi itu segera. Meski resikonya agak berat, tetapi setidaknya kami punya kesempatan untuk bisa melihat Yazar lebih lama. Tante mohon, Harum."
“Lagi-lagi gara-gara gue kita enggak jadi naik bianglala.” Suara lemah Yazar yang terdengar penuh dengan penyesalan sesaat menutup gerbang lamunan Harum beberapa saat yang lalu.
Harum menarik napas panjang dan diembuskannya dalam sekali hela, selagi tangannya mengusap matanya yang masih basah. Alasan air matanya tak henti mengalir tentu bukan lantaran ia kembali gagal naik bianglala. Namun …
”Resikonya, apa itu amnesia?”
… apa yang ia takutkan mungkin benar-benar akan terjadi.
Sebentar Yazar mengernyit. Tak langsung paham dengan apa yang Harum paparkan.
“Kalau lo dioperasi, lo beneran bakal lupain semuanya. Termasuk gue?”Yazar menutup matanya beberapa saat sebelum mengangguk mengiyakan. Meski ia sudah berusaha meneguhkan hati untuk semuanya. Namun, raut sedih yang tergurat penuh di wajah Harum sungguh membuat dadanya sesak bukan buatan.
“Kalau enggak?”
“Gue mungkin enggak bisa bertahan lama dengan kondisi seperti ini.”
Dengan kuat Harum menggigit bibirnya. Menahan pilu yang makin mencekik sanubari. Memang, tak ada pilihan lain selain, “Yaudah, kalau gitu lo jalani aja operasi itu. Kalaupun lo amnesia, perlahan-lahan ingatan lo bakal balik lagi, kan, Kayak gue. Gue pasti bakal bantu lo buat ingat semuanya entar.”
Melihat Harum yang tiba-tiba menjadi optimis, mau tidak mau membuat senyum Yazar rengkah. Perlahan, diusapnya kepala Harum dengan sayang. “Iya juga.” Dalam hati Yazar tersenyum miris. Faktanya, amnesia yang ia alami nanti bukan seperti amnesia yang Harum alami. Mungkin ingatannya benar-benar akan hilang secara permanen.
Sejujurnya, ia terlalu takut untuk ini. Ia tidak tahu apa ia mampu memulai semuanya di lembaran kosong bahkan tanpa ia tahu siapa dirinya sendiri. Namun, menyerah pada takdir kemudian berpisah selamanya dengan Harum dan orang-orang yang disayangi juga rasanya ia tidak sanggup. Faktanya kematian sendiri itu jauh lebih menakutkan.
“Lo bilang kalau pun lo amnesia, gue satu-satunya orang yang bakal lo ingat. Gue bakal pegang kata-kata lo sampai lo selesai operasi dan kembali ke sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Memory
Teen FictionMurid baru itu bernama Harum Areta. Gadis super aneh yang sempat mencoretkan crayon penuh warna dalam lembaran hidup Yazar. Gadis yang selalu menempati ruang kosong dalam hatinya kendati gadis itu sempat hilang bertahun-tahun lamanya. Yazar tahu ada...