Ginan baru saja keluar dari minimarket saat ia melihat Kanis tengah duduk tertunduk di salah satu bangku pertokoan, tak jauh dari tempatnya saat ini. Ia tak tahu apa yang sedang dilakukan gadis tomboi itu sendirian malam-malam seperti ini. Meski enggan, tetapi pada akhirnya laki-laki minim ekspresi itu melangkah mendekat juga.
Tanpa bicara sedikit pun, Ginan langsung saja mendudukkan dirinya di samping Kanis, membuat si gadis terkejut dengan kehadirannya.
Sekilas Ginan melihat layar ponsel Kanis. Game pac man yang tengah Kanis mainkan baru saja berakhir game over lantaran kini gadis berambut sebahu itu lebih sibuk memperhatikannya.
“Bikin kaget aja!” Kanis mendumel singkat, menutup permainan yang tengah dimainkannya. Aksi mengherankan Ginan, sosok yang selama ini memelihara rasa antipati terhadapnya, tetapi tiba-tiba saja bersedia duduk di sampingnya, membuat kedua alis gadis itu saling bertemu. “Ngapain?” Selanjutnya ia bertanya penasaran.
Alih-alih menjawab, Ginan malah menghadapkan salah satu es krim yang sempat ia beli untuk adiknya ke hadapan Kanis.
Dahi bersih Kanis makin berkerut, tak paham dengan sikap laki-laki sedingin kulkas itu. “Gue enggak suka es krim,” celetuknya kemudian, tak lantas ingin menerima pemberian Ginan begitu saja.
Menghela napas panjang, Ginan memutuskan untuk kembali memasukkan es krim itu ke dalam kantong plastik di tangannya.
“Gue enggak suka es krim rasa cokelat, gue suka vanilla,” cetus Kanis cepat.
Mendengar hal itu, segera saja Ginan menyodorkan es krim beserta kantong plastik itu kepada Kanis seraya berujar, “Gue cuma beli rasa cokelat sama stroberi.”
Kanis merengut, tetapi mengambil alih es krim itu juga pada akhirnya. Hanya sekadar untuk menghargai pemberian orang lain. Lagi pula, Kanis lihat Ginan terlihat tulus memberikan es krim itu.
“Sebenarnya lo ngapain di sini?” tanya Kanis setelah beberapa menit terbuang dalam keheningan. Ia sendiri sedang melepas penat saat ini. Biasanya, ia akan duduk di jembatan favoritnya untuk melepas segala resah. Namun, kala mengingat kejadian tak mengenakkan di sekolah tadi, Kanis akhirnya mengurungkan niat dan malah menghabiskan waktu untuk duduk sendiri di pinggir pertokoan seperti ini.
“Suka-suka gue.” Ginan menjawab datar, mengundang dengkusan kasar dari Kanis.
Hening. Lama.
“Gue berantem sama Mika.” Kanis membuka suara, bersamaan saat tangannya mulai membuka bungkus es krim rasa stroberi untuk ia nikmati.
“Bukan urusan gue.”
Ingin saja Kanis menimpuk kepala Ginan dengan es krim di tangannya kini. Berharap jika seperti itu manisnya es krim yang tengah ia makan bisa sedikit menular kepada laki-laki di sampingnya. Namun, tentu saja Kanis tak ingin terlalu ambil pusing, sudah biasa dengan sikap ketus Ginan. Alhasil, meski tahu Ginan tak akan terlalu peduli dengan ceritanya, Kanis tetap mengoceh. Anggap saja ia tengah curhat dengan es krim di tangannya saat ini.
“Mika nuduh gue selingkuh masa? Emangnya gue ada tampang-tampang tukang selingkuh apa?”
Kendati masih larut dalam kebisuan, Ginan sebenarnya menyimak baik-baik cerita Kanis. Sejujurnya ia memang penasaran dengan alasan bolosnya Mika, pun keanehan Yazar di sekolah tadi.
“Tahu, lah. Gue sebenernya enggak mau cerita sama lo. Tapi, karena lo tiba-tiba aja duduk di samping gue, terus sampai kasih es krim segala, itu artinya lo mau juga dengerin gue cerita, kan?”
“Jangan kegeeran!” desis Ginan tajam.
“Gue tahu kalau lo itu nyebelin.” Kanis memasukkan satu suapan terakhir es krim yang tengah dimakannya dan membuka es krim lainnya. Tak sadar kalau sekarang ia memakan es krim rasa cokelat juga, padahal tadi bilang kalu ia tidak menyukainya. “Tapi, gue tahu kok kalau sebenarnya lo itu orang baik,” sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Memory
Teen FictionMurid baru itu bernama Harum Areta. Gadis super aneh yang sempat mencoretkan crayon penuh warna dalam lembaran hidup Yazar. Gadis yang selalu menempati ruang kosong dalam hatinya kendati gadis itu sempat hilang bertahun-tahun lamanya. Yazar tahu ada...