13. Pemakaman

315 34 5
                                    

𝙷𝚊𝚒 𝚑𝚊𝚒!!!𝙰𝚙𝚊 𝚔𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚗𝚒???? 𝙰𝚞𝚝𝚑𝚘𝚛 𝚋𝚊𝚕𝚒𝚔 𝚋𝚊𝚠𝚊 𝚌𝚑𝚊𝚙𝚝𝚎𝚛 𝚋𝚊𝚛𝚞!!!! 𝚅𝚘𝚝𝚎 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚐𝚎𝚛 𝚖𝚊𝚐𝚎𝚛!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝙷𝚊𝚒 𝚑𝚊𝚒!!!
𝙰𝚙𝚊 𝚔𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚗𝚒????
𝙰𝚞𝚝𝚑𝚘𝚛 𝚋𝚊𝚕𝚒𝚔 𝚋𝚊𝚠𝚊 𝚌𝚑𝚊𝚙𝚝𝚎𝚛 𝚋𝚊𝚛𝚞!!!!
𝚅𝚘𝚝𝚎 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚐𝚎𝚛 𝚖𝚊𝚐𝚎𝚛!

Sial, sudah beberapa kali umpatan keluar dari bibir cantiknya. Sedia payung sebelum hujan, gimana sedia? Punya aja enggak.

"Lupa bawa hp lagi" Dua kantung plastik penuh berada di genggaman tangannya. Gadis itu, tania. Baru saja dia berbelanja bahan masakan dan banyak cemilan lainnya.

Zzzrrrssstttt

Hujan lebih deras dari sebelumnya. Bahkan rintikan rintikan hujan mengenai wajahnya. Tania masih berdiri didepan minimarket, belum ada rencana untuk pulang karena hujan. Mencari taksi juga sudah mulai sepi, mungkin karena sudah petang.

"Kayak Victor, Oi" Ucapnya sedikit berteriak, melupakan beberapa orang yang berteduh juga.

Setelah memastikan tidak ada mobil atau motor yang lewat, Tania menerobos hujan untuk berjalan menuju Victor berteduh.

"Astaga" Benar dugaan Tania, itu Victor. Tubuhnya gemetaran dengan baju yang basah kuyup.

"Tolong"

"Gini lo bawa hp? Biar gue pesen taksi" Victor mengangguk samar dan menyerahkan HPnya.

Tania membersnikan diri untuk mengusap sudut bibir Victor, ada lebam dan darah disana. "Gue nggak mau pulang"

Tin Tin

"Dengan Victor? "

"Iya! " Tania menjawab, dia membantu Victor berjalan dan masuk kedalam taksi, Aa jangan lupakan belanjaannya.

"Jalan pak"

Tidak ada pembicaraan didalam mobil. Tania yang setia memandang kearah kaca dan Victor yang menutup kedua matanya dan berusaha cukup tenang setelah terkena hujan.

Tania terkejut saat jemarinya diganggam oleh tangan kiri Victor. "Eh"

"Gue takut"

Apa yang terjadi sebenarnya?

Setelah membayar taksi, Tania kembali menyangga tubuh Victor untuk berjalan kedalam rumahnya. Rumahnya.

Bell sudah berkali kali ia bunyikan, bahkan kakinya sudah ia gunakan untuk menggedor pintu, namun masih juga tidak ada yang keluar untuk membukakan pintu. "KAKAK! "

"KAK! BUKAIN PINTUNYA, CEPETANN. "

"Brisik dek, Vic!"

***

Pagi pagi buta, didepan ruang exel tertidur untuk selamanya. Lorong itu kini berisi teriakan dari Sarah, orang tua Exel dan Elang. "KAPAN SIH LU, NGGAK BIKIN GUE SUSAH? "

"UDAH BERKALI KALI GUE BILANG, JANGAN AJAK EXEL MASUK KE GENG MOTOR NGGAK GUNA LU" Teriaknya idepan anggota geng motor milik Exel dan Elang.

"SEMENJAK LU PULANG DARI KANADA, EXEL JADI PEMBANGKANG. DAN SEKARANG APA? "

"EMANG YA, LU NGGAK BISA JADI KAYAK EXEL SAMA BRIAN. PINTER, BAIK, NGGAK NYUSAHIN"

Sesak sekali rasanya, dibentak oleh ibu kandung sendiri. Elang mengepalkan tangannya hingga memutih, bahkan matanya sudah berkaca mendengar bentakan dari ibunya tadi.

"KALOK GUE BISA MILIH, GUE NGGAK MAU PUNYA ANAK KAYAK LO! " Lanjut Sarah lagi.

"GUE JUGA NGGAK BERHARAP DILAHIRIN SAMA LO! "

Plakk

"Tan, udah tan. Jangan dirumah sakit"

"Siapin semua perlengkapan pemakaman"

***

"Nggak mau ke rumah sakit aja, Vic? "

Victor menyandarkan tubuhnya di, sandaran kasur. "Nggak usah, kak"

"Jadi? "

"Gue dituduh ngeracunin nyokap, gue ditampar bokap, Dipukul Alden, dan gue diusir"

"Lu, percaya kan kak? Bukan gue yang ngeracunin bunda? " Lanjut Victor lagi.

***

Perlahan Jenazah Exel, mulai diturunkan keliang lahat. Saat itu juga, lutut Elang melemas. Untung saja Daffa yang sigap merangkul Elang. Waktu seolah membeku. Ada jurang pemisah antara dirinya dan saudara kembarnya.

Elang menatap lurus kedepan. Rasanya masih seperti mimpi dan fikirannya masih menolak untuk percaya.

Mata pemuda itu memanas ketika sedikit demi sedikit tanah diturunkan untuk mengubur jenazah saudara kembarnya.

Awan mendung serta rintik hujan mengiringi sebuah proses pemakaman di sore hari itu. Cuaca buruk itu seakan menggambarkan kesedihan.

Para peziarah dengan pakaian serba hitam nampak mulai berkurang satu persatu menjauh dari liang lahat setelah peti besar tersebut mulai tertanam tenang di dalam tanah.

Dengan isak tangis yang tersisah, langkah mereka terus menjauh dari sisi tanah yang masih kemerahan tersebut. Berjuta kalimat dalam diam nampak tersampaikan melalui tangis mereka. 

Disana sudah tak ada siapa-siapa, proses pemakaman telah usai beberapa saat yang lalu.

"Mau kemana lagi, ma? "

Sarah membenarkan letak kacamata hitamnya. "Satu jam lagi gue berangkat"

"Ma, abang baru aja pergi. Dan mama? Mau ninggalin Elang sendirian? Elang juga anak mama"

"Ma! " Sambung Elang lagi, namun baginya percuma. Sarah sudah memasuki mobil dan menjalankannya menuju bandara.

Elang merogoh sakunya. "Hallo, hack akun sekolah secepatnya. Lima juta, gue transfer sekarang"

Helaan nafas berat terdengar. Pemuda itu menatp langit langit yang menggelap. Langkah kakinya berjalan kembali menuju gundukan tahan tempat saudaranya beristirahat. "Bang, gue sendirian lagi"

Whehehe, kependekan ya?

Vote dan coment jangan lupa...

Pluviophobia [ Hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang