Ada yang bilang kalau luka akan sembuh dengan sendirinya. Hal yang dibutuhkan hanya waktu. Namun, Zian tidak percaya pada kata-kata itu. Ia hanya berusaha terbiasa dengan lukanya yang tak mungkin sembuh. Menurutnya, waktu tidak akan pernah menyembuhkan luka. Orang-orang yang ada di sekitarnya, bisa membantunya terbiasa dengan luka itu.
Sejak jecil, Zian sudah banyak terluka. Hal itu berpengaruh pada caranya memperlakukan orang lain. Ia lebih mudah curiga dan sulit mempercayai orang lain. Hanya satu orang yang selalu Zian percayai, yaitu Alka. Laki-laki yang sering mengenakan kacamata itu, selalu jadi orang pertama yang muncul saat ia terluka, tetapi kadang Zian merasa kalau ia sering merepotkan Alka.
Zian dan Alka tumbuh bersama layaknya saudara. Mereka tertawa dan menangis bersama. Kadang pertengkaran juga menghampiri keduanya. Alka menjadi sosok sahabat, saudara dan orang tua di saat yang sama. Ada saat ketika Zian tidak mampu membantah dan hanya bisa menurut pada Alka, tetapi ia lebih sering melawan dan menolak kata-kata laki-laki itu.
Ketika sedang marah, Zian seringkali menyakiti Alka dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi ia jadi semakin merasa bersalah karena Alka tidak pernah pergi dari sisinya. Sama seperti saat ini, meski ia melontarkan ceramah panjang lebar, tetapi ia tetap di sana dan malah berusaha menghiburnya setelah marah besar.
Laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan itu memandang Alka yang kelihatan tengah melamun. "Menurut lo, gue orangnya gimana, sih?"
Alka menggeleng. Laki-laki berkaca mata itu terdiam. Ia sempat mengerjap dan menatap sahabatnya dengan tatapan heran. Biasanya, Zian akan memutuskan semua hal sesukanya. Jarang sekali ia meminta pendapat Alka. Terlalu banyak berpikir membuat Alka tidak sempat menjawab.
Zian menyerigai. "Emang pertanyaan gue susah banget buat dijawab?"
Alka mengerutkan dahi. Kemudian ia menjawab setelah melangkah mendekat. Setelah tiba dan hanya meninggalkan jarak dua langkah, laki-laki berkacamata itu melipat tangan di dada. "Pertanyaan lo nggak susah, cuma aneh."
"Ya udah, batal pertanyaannya." Perhatian Zian teralih pada kertas yang berisi angka dan rumus yang sudah ditandai warna-warni. "Lo bisa tinggalin gue."
Melihat Zian yang sudah tidak memperhatikan, Alka menghela napas. "Zi, gue boleh kasih saran?"
Tersangka yang diajak bicara malah buang muka. Zian pura-pura sibuk dengan kertas yang ada di tangannya, padahal Alka tahu kalau laki-laki bertindik itu sama sekali tidak tertarik dengan kertas itu.
"Lo harus bisa tahan emosi, dikit aja. Tahan sepuluh detik sebelum lo marah. Kalau lo nggak bisa percaya sama orang lain, gimana lo bisa dipercaya?" Alka berbicara dengan nada serius. Ia menutup kalimatnya dengan menepuk pundak Zian. "Nanti gue kabarin kalau makan malam sudah siap."
Kata-kata Alka sempat membuat Zian berpikir keras. Ia tahu kalau emosinya memang meledak-ledak, tetapi ia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti. Setelah Alka pergi, mata Zian terpaku pada kertas di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tell Me Why ✓
RomansaApa yang kamu lakukan jika terjebak dengan berandalan nomor satu di kampus? Bella, mahasiswi semester akhir Universitas Jatayu, harus menggantikan ayahnya menjadi tutor Zian. Kontrak yang sudah dibayar di muka, tidak bisa dibatalkan dengan alasan ap...