Bagian 3: Senang

195 40 0
                                    

"Oh gitu, Ayah lu sadis juga, ya."

Terry mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebelumnya ia sempat bercerita kepada Steve tentang Ayahnya yang tiba-tiba membuangnya ke kost kumuh seperti ini.

"Kalo lu gimana? Kenapa ngekost di sini?" tanya Terry sambil menatap Steve yang sedang menyeruput kuah ramennya.

"Hm ... Pertama, karena murah. Kedua, karena tempatnya deket sama kampus, dan juga tempat kerja gue," jawab Steve. 

"Kerja jadi apa, Bang?" tanya Terry dan dengan cepat Steve menjawab, "ngamen di lampu merah."

"Serius?" Terry terkejut dan kemudian  mengedip-ngedipkan matanya, pertanda ia tidak percaya. Kemudian dengan santai Steve menganggukkan kepalanya. Terry terdiam sejenak, lalu kembali membuka suaranya.

"Lu asli orang sini atau anak rantau dari daerah? Terus, orangtua lu gimana?" tanya Terry yang membuat Steve menoleh ke arahnya sebentar, kemudian menunduk.

"Gue udah nggak punya orangtua," ucap Steve. Seketika Terry tertegun, kemudian ia berkata, "maaf, gue nggak bermaksud."

Steve tersenyum tipis sambil memanggut-manggutkan kepalanya, kemudian bangkit dari duduknya, hendak mencuci piring dan gelas di wastafel. Tak lama kemudian, Terry bangkit dari duduknya, membawa mangkuk yang langsung diterima oleh Steve.

"Biar gue yang cuci," ucapnya. Awalnya Terry ingin menolak, tetapi sudah terlanjur jadi ia biarkan. Terry menyenderkan badannya di samping wastafel, lalu membuka suaranya.

"Tapi gue salut sama lu, masih mau bertahan sampai sekarang," Terry menghela napasnya dan kemudian menatap Steve yang sibuk mencuci piring. "Jangan kayak gue, baru sehari tinggal di sini rasanya pengen resign dari kehidupan. Padahal, uang masih sering dikasih sama Papa, tapi jumlahnya pas-pasan ... Gue nggak terbiasa hidup susah."

Steve menaruh piring-piring serta gelas yang sudah bersih di rak. Kemudian ia membalikkan badannya, menatap Terry sambil tersenyum.

"Mungkin, hari ini lu saatnya tau. Uang itu berharga, nggak salah Papa lu ngomel dan ngehukum lu karena nggak pinter ngatur uang. Ya, karena di bawah lu banyak orang yang ngebutuhin itu."

Terry menganggukkan kepalanya pertanda ia setuju. Setelah itu, mereka duduk di ruang tamu sambil menonton televisi dan juga ditemani makanan ringan milik Steve. Terry merasa tidak enak, sebab sedari awal Steve selalu memberinya makanan. 

"Nanti kalau hukuman gue udah selesai, gue ganti, janji."

"Nggak usah, santai."

"Tapi gue hutang budi sama lu, Bang."

"Nggak."

Steve selalu menolak perkataan Terry dan menyuruhnya untuk santai, dan juga tidak perlu repot-repot mengganti semua yang telah diberikan olehnya. Pada akhirnya, Terry menyerah dan mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada Steve. Saat mereka sedang menikmati tayangan televisi, tiba-tiba ada seorang lelaki yang berteriak.

"Bang Steve!"

Terry menoleh ke arah sumber suara, begitupula dengan Steve. Terry melihat seorang lelaki yang memiliki paras seperti bule, mengenakan hoodie serta celana training berwarna baby blue.

"Laper, Bang. Ada mie nggak?" tanya lelaki itu yang membuat Steve mengangguk dan langsung menunjuk ke arah dapur.

"Banyak, ada di dapur." Lelaki itu langsung ke dapur dan sepertinya langsung memasak air. Namun, tak lama kemudian ia kembali menghampiri Steve.

"Ada cabe nggak, Bang?" tanyanya.

"Nggak beli, gue nggak ke pasar," jawab Steve.

"Yah, nggak enak dong, nih. Mie rebus nggak pake cabe." Lelaki itu menghela napasnya kasar.

Teman KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang