Bagian 8: Testpack

206 32 6
                                    

"Lagi liat apa, Ter?" 

Terry tersentak dan langsung menoleh ke arah belakang. Ia melihat Ben yang berada di belakangnya.

"Kaget gue, untung nggak latah," ucap Terry sambil mengelus dadanya. 

"Ya, lagian. Lu senyum-senyum, gue pikir kesurupan," balas Ben. Terry merotasikan bola matanya malas dan kemudian berkata, "lu mikirnya terlalu jauh, Bang. Udahlah, gue mau tidur."

Terry membalikan badannya, seketika pergelangannya di genggam oleh Ben yang membuat langkahnya terhenti. Terry menoleh ke arah Ben, yang sedang menatapnya dengan tatapan takut.

"Kenapa? Liat setan?" tanya Terry. Ben menggelengkan kepalanya, lalu ia terdiam sejenak sambil menoleh ke arah kanan- kiri, seperti memastikan keadaan sekitar, kemudian Ben berkata, "Besok temenin gue ke apotek."

Saat itu juga, Terry langsung menatap Ben datar, lalu menganguk. Awalnya Terry sempat curiga dengan gerak-gerik Ben, tetapi ia coba tepis terlebih dahulu, dan lebih memilih untuk tidur.

Keesokkannya, Terry dan Ben jalan beriringan menuju apotek. Wajah Ben terlihat cemas, kantong matanya terlihat sembab dan juga menghitam. Terry duga, Ben tidak tidur nyenyak tadi malam. Karena penasaran, Terry membuka suaranya lebih dulu.

"Lu ke apotek mau beli apa, Bang?" tanya Terry dengan hati-hati

"Itu," Ben menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. "Ah, nanti lu juga tau."

Terry mengangguk-anggukkan kepalanya, ia tidak ingin memaksa Ben untuk memberi tahu. Kemudian Ben bertanya, "menurut lu, kehidupan setelah nikah itu enak, nggak?"

"Ya, mana gue tau. Gue 'kan belum nikah," jawab Terry dengan cepat. 

"Kalau punya anak?" tanya Ben lagi. Terry tidak menjawab, namun ia mencondongkan wajahnya ke arah yang lebih tua. "Lu ... Udah punya cewek, Bang?"

Ben tertawa dan kemudian menggelengkan kepalanya. "Belom. Banyak, sih, yang ngejar tapi bukan selera gue."

Terry berdecih sambil merotasikan bola matanya, saat mendengar perkataan sombong dari Ben.

"Awas, selera lu ketinggian. Nanti nggak laku."

Pada akhirnya mereka sampai di apotek. Terry memutuskan untuk menunggu di luar toko, karena ia malas saat melihat apotek begitu rame dan juga antri. Beberapa menit kemudian, Ben keluar dan mengajak Terry untuk pulang.

"Beli apaan, Bang?"

"Oh ini ..."

Ben mengeluarkan kotak kecil yang berada di dalam bungkus plastik. Terry melihat isi dari kardus tersebut, ia menatap Ben dengan terkejut. Sungguh, sekarang ia mengert, mengapa Ben menanyakan soal pernikahan dan juga anak. Terry memberhentikan langkahnya, ia menatap Ben sambil memegang kedua bahunya.

"Bang, jujur sama gue," Terry menjeda ucapannya, menatap yang lebih tua dengan serius. Dirinya sempat tidak percaya dengan apa yang dilakukan Ben. "Lu hamilin siapa?"

Ben menatap Terry dengan polos, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak ada."

Terry terdiam, ia menurunkan tangannya. Tetapi, tatapannya masih menatap Ben dengan tatapan curiga.

"Yakin?"

"Iya, Ter. Ini buat Kamal, dari semalem dia menggigil, gue pengen tau dia demam atau bukan."

Terry tersenyum lebar, ia merasa kesal sekaligus berusaha sabar. Tetapi sungguh, rasanya ia ingin membanting Ben di atas aspal sekarang juga.

"Kalo buat orang sakit, pakenya termometer, Bang Ben," ucap Terry dengan gemas. Sedangkan Ben mengkerutkan dahinya dan kemudian membalas, "bukannya sama aja?"

"Beda, Bang. Testpack buat cek kehamilan," jawab Terry yang masih berusaha menahan emosinya. Ben terdiam sejenak dan kemudian mengangguk-anggukan kepalanya sambil membulatkan mulutnya. "Oh, gue pikir sama."

"Lu SMA lulus nggak, sih, Bang?!" tanya Terry sebab tidak tahan dengan manusia yang dihadapannya satu ini, benar-benar bodoh.

"Enggak, gue nyogok biar lulus, makanya gue bego," jawab Ben sambil tersenyum menunjukkan deretan giginya. Pada akhirnya, mereka kembali ke apotek untuk menukar testpack dengan termometer.

Teman KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang