Bagian 6: Nyari Uang

169 32 5
                                    

Keesokkan harinya, Terry dan kawan-kawan berkumpul di ruang tamu setelah sarapan. Awalnya Terry sempat bingung, karena dalam waktu beberapa saat suasana menjadi sunyi dan mencekam, tatapan teman-temannya saling memandang serius, seakan mereka sedang merencanakan strategi untuk menyerang Negara tetangga. Kali ini, Daniel membuka suaranya lebih dulu.

“Oke, sebentar lagi kita menuju ke arena. Karena Terry anggota baru kita, pemakaian alat tetap seperti awal, kecuali Kamal. Biarin Terry yang bawa beras,” Daniel menarik napasnya, kemudian menghadap ke arah Kamal. “Lu tepuk tangan aja sambil megang kantong.”

Kamal mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Setelah itu, Ben bangkit dari duduknya, mengambil peralatan alat musik dari kamarnya. Ada berbagai macam alat musik ringan yang ia bawa seperti; ukulele, gendang berukuran mini, dan juga kecrekan.

“Ayo kita berangkat!”

Mereka semua pergi meninggalkan Kostan, sedangkan Terry setengah hati mengikuti mereka. Sejujurnya ia merasa malu saat dirinya dilihat oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitar lampu merah. Tetapi, saat melihat teman-temannya, mereka biasa saja dan malah mereka menyapa orang-orang yang sedang melewatinya. 

Ben menepuk bahu Terry yang membuatnya langsung menoleh, kemudian Ben memberinya sebotol beras kecil yang tidak terisi penuh. Terry menerimanya, kemudian menatap yang lebih tua dengan tatapan bertanya-tanya.

“Cara mainnya gimana, Bang?” Yang lebih tua terkekeh pelan, lalu mengambil alih sebotol beras itu.

“Lu kocok aja kayak gini,” jelas Ben sambil mengocok botol beras ke atas dan ke bawah dengan pelan. Suaranya tidak bernada, tetapi bunyinya hampir sama dengan kecekrekkan. Ben mengembalikan botol beras  kepada Terry, dan yang lebih muda langsung meniru yang dijelaskan Ben tadi.

“Gini doang?” tanya Terry yang membuat Ben menganggukkan kepalanya. 

“Awalnya kita mau beli suling, tapi uangnya nggak cukup. Jadi untuk sementara pake ini dulu.”

“Tapi ini jauh banget dari suara suling, Bang.”

Ben menggaruk tengkuknya, lalu ia menepuk-nepuk bahu Terry lagi. “Udah, terima apa adanya aja.”

Akhirnya mereka mempersiapkan diri mereka dengan mengatur posisi, setelah itu lampu merah menyala, di saat seperti itu para pengendara langsung memberhentikan laju kendaraanya. Setelah itu Daniel membuka suaranya guna mengalihkan perhatian para pengendara.

“Misi-misi foya-foya, kita mau ngamen, tolong sumbangannya. Uang receh, uang logam kami terima, apalagi yang berkertas merah.” 

Terry membulatkan matanya, ia terkejut sekaligus ingin tertawa, karena mendengar suara Daniel yang seperti terjepit di hidungnya. Setelah itu, Steve yang membuka suaranya sambil menghentakkan kakinya sebagai instruksi.

“Ou one, one, two, three, go!”

Dan pada saat itu juga, alat musik dimainkan secara berbarengan, Terry melaksanakan tugasnya yang hanya mengocok botol beras ke atas dan ke bawah. Nada yang tidak beraturan, suara yang bertabrakan, serta lagu konyol yang dinyanyikan oleh Kamal hingga membuat perut Terry terasa tergelitik.

“Potong bebek angsa, angsa dikuali. Nona minta dansa, dansa empat kali. Sorong ke kiri, sorong ke kanan, lalala lalala la la ….”

Terry menundukkan kepalanya, ia malu sekaligus ingin tertawa. Oh astaga, wajah setampan dirinya seperti tertimpa nasib sial, tatkala saat ini mengenakan kemeja dan celana levis yang mungkin terlihat Cool di mata para Wanita. Tetapi setelah ini, mungkin urat malunya akan terputus dan ia tidak akan peduli lagi dengan penampilannya, apalagi saat ia melihat orang yang berlalu lalang memberi mereka uang ke dalam kantong bekas bungkus permen yang di pegang Kamal.

Teriknya sinar matahari menyorot seluruh kota, para pemuda mulai kelelahan, akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat lebih dulu. Saat ini mereka sedang berlabuh di depan minimarket, mengibas-ngibas tangan mereka guna menghilangkan rasa panas. Tak lama kemudian Steve keluar dari minimarket, membagikan minuman satu-persatu.

“Lumayan banyak, nih. Ada tiga ratusan lebih.” Seketika Terry langsung tersedak saat mendengar ucapan Kamal. Ben yang sedang berada di sampingnya langsung menepuk-nepuk punggung Terry.

“Telen dulu, Ter, baru napes.”

Wajah Terry sampai memerah dan tidak lama kemudian batuknya reda, lalu Terry melihat Kamal yang sedang menahan sakit sambil memegang perutnya.

“Bang, itu Kamal.” Ben langsung menoleh ke arah Kamal dan langsung menghampirinya.

“Kenapa?” tanya Steve dan ikut menghampiri Kamal, begitupula dengan Terry dan juga Daniel.

“Mal, kenapa?” tanya Ben dengan wajah panik.

“Perut Adek sakit, Bang,” ucap Kamal sambil merintih kesakitan. 

“Ini gue ada roti, makan aja dulu buat ganjel,” Steve memberi Kamal roti, lalu ia menatap Ben. “Lu beli nasi, sana. Kayaknya, Maag Kamal udah kambuh lagi.”

Ben menghela napasnya kasar, ia melihat Kamal yang sedang memakan roti sambil menahan sakit, lalu Steve memberi Ben uang untuk membeli nasi. 

“Beli lima, samain aja lauknya, tapi kalau lu mau beda lauk, terserah. Tapi jangan ngelunjak, itu lima puluh ribu harus pas lima bungkus nasi,” Jelas Steve yang membuat Ben mengangguk.

“Gue ikut!” seru Terry yang membuat Ben  mengajak Terry untuk jalan bersama.

Saat diperjalanan mencari warung makan sederhana, Terry melihat wajah Ben yang terlihat cemas dan juga sedih, lantas Terry memiringkan kepalanya.

“Kenapa, Bang? Ada yang sakit?” tanya Terry yang membuat Ben menoleh ke arahnya sambil tersenyum tipis.

“Nggak, gue cuman khawatir sama Kamal,” jawab Ben. Namun setelah itu, mereka menemukan warung makan sederhana yang letaknya tidak jauh dari mereka. Ben dan juga Terry langsung melajukan langkah kakinya lebih cepat.

“Lu mau pake lauk apa, Ter?” tanya Ben. Tanpa berpikir panjang, Terry langsung menjawab, “tempe.”

“Terus?” tanya Ben lagi.

“Udah.” Ben mengerutkan keningnya, lalu tertawa pelan. “Kocak lu, cepetan mau apa lagi?”

“Gue serius, gue maunya pake tempe, aja.” Ben mengedip-ngedipkan matanya, lalu menatap Terry dengan heran.

“Lu nggak mau ayam? Ikan? Itu ada daging, enak juga.”

Terry menggelengkan kepalanya, menolak usul dari Ben. Bukannya apa-apa, Terry hanya takut rasa makanannya tidak enak, yang nantinya malah ia buang dan berakhir di tempat sampah. Tetapi kali ini Terry tertarik dengan ikan-ikan kecil yang sepertinya memiliki tekstur garing saat di gigit. 

“Eh, Bang Ben, ini apaan?” tanyanya sambil menunjuk sepiring lauk yang baginya terlihat menarik.

“Ikan teri. Kenapa? Mau?” tawar Ben yang membuat Terry mengangguk sambil tersenyum. Ben pun menuruti permintaan Terry dan setelah itu mereka kembali ke minimarket.

“Makan dulu, Mal. Mau Abang suapin?”

“Nggak usah, Kamal bisa sendiri.”

Terry melirik ke arah Ben dan juga Kamal, saat ia melihat-lihat, Ben sangat sayang dengan Kamal. Bahkan, Ben dengan rela memberi separuh nasi dan juga lauk untuk Kamal. Awalnya Kamal terlihat menolak, sebab porsi Ben menjadi sedikit, tetapi yang lebih tua menggeleng serta menegaskan kalau ia cukup kenyang dengan sisa separuh nasi tersebut. 

Teman KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang