Bagian 1: Ditendang

289 38 10
                                    

Di dalam ruangan dengan pencahayaan yang remang, berisikan dua insan yakni seorang Ayah dan juga anak. Sudah satu menit lamanya mereka saling terdiam, akhirnya sang Ayah lebih dulu membuka suaranya.

"Jelasin ke Papa, uangnya kamu pake buat apa aja?" 

Sang anak menatap Ayahnya yang masih mengenakan jas kantor, ia duga Ayahnya itu belum sempat mengganti pakaiannya setelah sampai di rumah. Dirinya yang sedang duduk dihadapannya terdiam sejenak, memikir jawaban yang tepat, bernama Terry.

"Ya, buat apa saja, aku lupa kalo sebutin semuanya satu per satu." Dengan santai, namun jantungnya berdegub kencang, Terry berusaha untuk tidak panik dan tetap tenang.

Sang Ayah menghela napasnya dengan kasar. "Udah berapa kali Papa bilang, kamu harus hemat. Jangan dipake buat yang nggak penting. Kalau begini, untuk sementara, kamu Papa hukum."

Terry terkejut, ia menggelengkan kepalanya ribut dan menghampiri Ayahnya, lalu bersujud di bawah kakinya. Kemudian berkata, "jangan hukum aku, Pa."

Sang Ayah menarik tangannya Terry agar bangun dan menatapnya. "Hukumannya nggak berat. Kamu bakal tinggal kost yang jauh dari sini, kamu tinggal sendirian di sana selama lima bulan, dan setiap bulannya  Papa akan kasih kamu uang untuk hidup di sana."

Terry terdiam, entah ingin senang atau sedih. Dirinya memiliki firasat, kalau ia akan bebas setelah ini. Tinggal di kostan sendirian, tanpa ada yang mengaturnya, tidak ada yang menyuruhnya untuk mengurus ini-itu, malah ia akan betah sendirian di kost. Terry pikir, Ayahnya akan membuangnya di kostan elit, mewah, yang hampir serupa dengan hotel. Mengingat Ayahnya memiliki perusahaan besar dan juga hartanya berlimpah.

Nyatanya jauh dari kata hotel, kost yang dipilihkan Ayahnya terlihat kumuh, seperti tidak terurus dan sangat tidak direkomendasikan bagi yang alergi dengan barang kotor. Dan satu hal yang paling mengerikan, ponselnya disita oleh Ayahnya. Awalnya Terry mengeluh, ponselnya itu sudah seperti belahan jiwanya sendiri, ia merasa tidak hidup jika tidak ada ponsel. Tetapi, Ayahnya bersikeras, akhirnya Terry mengalah dan hanya bisa menghela napas panjang.

Terry menatap sekeliling kamar kostnya sendiri. Terlihat satu lemari kecil dengan kasur kecil yang terlihat sudah reyot, lalu ada meja kecil yang Terry tidak mengerti fungsinya untuk apa, dan kemudian ada kamar mandi dengan pencahayaan yang kurang. 

"Kostan apaan kayak gini? Gembel banget," umpatnya, karena merasa sangat tidak nyaman dengan sekelilingnya yang serba kotor dan juga berdebu. Terry termasuk anak yang sudah terdidik untuk senantiasa rapih dan juga bersih, karena sudah terbiasa dari kecil seperti itu, akhirnya ia berinisiatif untuk membersihkan kamarnya sendiri menggunakan alat pembersih yang sudah disediakan oleh pemilik kost.

"Gue nggak heran, sih, kalau harga kostnya murah."

Setelah beberapa menit menghabiskan waktu untuk bersih-bersih, Terry merebahkan dirinya di kasur. Ia mengusap peluh di pelipisnya, lalu ia merasakan panas dibadannya, sebab dirinya mengenakan kemeja. Ia mengambil kopernya, guna untuk mencari kaos untuk mengganti baju. Tetapi kali ini, ia baru sadar kalau dirinya tidak membawa kaos sama sekali, hanya membawa kemeja dan itupun tidak banyak.

"Kalau begini terus, gue bakal kepanasan setiap hari," ucapnya dengan nada miris. 

Sebab, dari awal ia membayangkan kostnya memiliki mesin pendingin ruangan. Tetapi saat melihat realitanya, Terry kecewa. Jangankan pendingin ruangan, kipas angin saja tidak ada. Akhirnya Terry membuka jendela kamar, agar angin bisa masuk ke dalam kamarnya. Seketika perutnya berbunyi, pertanda ia lapar dan harus memakan sesuatu. Terry merogoh sakunya, seingatnya sang Ayah memberinya uang selama sebulan. 

"Kok tipis, ya?" Terry merasa kalau uang yang ia genggam sedikit, dan nyatanya Ayahnya hanya memberinya tiga ratus ribu. Terry menggertakkan giginya, merasa kesal dengan Ayahnya sendiri.

"Tiga ratus ribu?! Sebulan?! Bayar kost aja seratus ribu. Sisa dua ratus ribu. Gue makan apa yang kurang dari tujuh ribu?!"

Terry rasanya ingin menangis, miris sekali hidupnya. "Sialan. Papa gue pengen anaknya latihan jadi gembel kali, ya?"

Terry mengacak rambutnya frustasi, kalau tau begini, lebih baik ia mati saja. Hidup serba kekurangan itu tidak enak, ia juga tidak terbiasa makan di warung minimalis, biasanya ia makan di restoran bintang lima.

"Mau makan apa, Dek?" tanya pemilik warung. Terry melirik matanya ke arah etalase, melihat berbagai makanan yang berada di dalamnya. Terlihat menggiurkan, tetapi ia harus menahan itu semua agar uangnya cukup sampai sebulan.

"Nasi putih sama tempe aja. Minumnya es teh manis."

Terry duduk di bangku saat ia sudah menerima pesanannya. Rasanya ingin menangis, ia tidak terbiasa makan makanan seperti ini. Tetapi karena perutnya sudah berdisko minta diisi, akhirnya mau tidak mau ia memakan pesananannya dengan lauk seadanya. Sudah porsi nasinya dikit, cita rasa dari lauknya hambar, harganya normal, Terry merasa rugi, tapi mau bagaimana lagi?

"Cuman lima bulan gue begini. Semangat!" ucapnya dalam hati guna menyemangati dirinya sendiri. Setelah makanannya habis, Terry kembali pulang ke kostannya.

Teman KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang