Bagian 5: Tentang Uang

178 36 2
                                    

Terangnya cahaya bulan menghiasi malam, sinarnya tidak secerah matahari, namun sinarnya seakan menjanjikan bahwa ia tidak akan padam sebelum matahari tandang. Labium merah milik seorang taruna mengeluarkan hembusan napasnya dengan pelan, seakan beban yang ia pikirkan dihempaskan sejenak. Dirinya kembali memandangi bulan itu lewat jendela yang sedikit kotor dan juga tidak terawat.

“Bang Steve?”

Lelaki itu tersadar dari lamunannya, ia menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Terry yang sedang menyembulkan kepalanya di antara celah pintu.

“Masuk,” ucapnya sambil menepuk-nepuk sisi kasur yang sudah reyot. Terry masuk ke dalam kamar Steve, keadaannya pun masih sama, terlihat berantakan dan banyak barang berserakan. Saat Terry ingin menghampiri Steve tiba-tiba ia mengaduh kesakitan, lalu ia menundukkan kepalanya, melihat benda yang ia injak. Terry mengambil jarum benang yang posisinya tertanam di gulungan benang berwarna merah.

“Maaf, Terry, gue nggak tau kalau itu di sana. Kaki lu nggak kenapa-kenapa?” tanya Steve sambil mengambil benang merah miliknya. Untung saat itu posisi ujung jarum yang tajam tertancap di dalam benang, jadi kaki Terry tidak tertusuk. Mungkin, ia hanya merasa nyeri.

“Kaki gue nggak apa-apa. Lu nggak bawa pisau atau benda tajam yang lainnya, kan, Bang? Gue khawatir lu kesandung, terus ketusuk.” Steve menggelengkan kepalanya, terasa ragu.

“Kayaknya nggak. Kalo pun kejadian gue ikhlas, kok,” ucapnya yang membuat Terry merotasikan bola matanya malas. “Mati lu nggak epic.”

Setelahnya Steve tidak menjawab, ia malah duduk lagi di kasurnya. Ia juga mengajak Terry untuk duduk di sampingnya. Tentu saja, Terry tidak langsung menurutinya, ia malah mengangkat alisnya sebelah.

“Sini duduk, gue mau ngomong.”

“Apaan, sih? Lu kayak Ayah gue, dah, Bang.”

Steve langsung menatapnya datar dan kemudian kembali berkata, “bodo amat, gue nggak kenal. Sini, elah. Gue nggak gigit, gue sayang lu, kok.”

Sontak Terry menatap Steve dengan jijik. “Dih! Homo, jauh-jauh dari gue.”

Kali ini Steve yang merotasikan bola matanya malas, ia langsung menarik lengan Terry dan menyuruhnya untuk duduk di sampingnya. Saat sudah dipaksa seperti itu, Terry hanya diam sambil menatapnya.

“Gue pengen bahas soal tentang uang bulanan lu yang diambil sama Bang Daniel. Sebelumnya gue minta maaf banget, Abang gue emang suka minum-minuman dan nggak jarang dia pulang-pulang mabok. Terus …” Steve memberhentikan ucapannya, ia melihat wajah Terry yang terlihat tidak nyaman.

“lu kenapa?” tanya Steve. Terry menatapnya dan menjawab, “maaf, Bang. Gue nggak betah ngeliat kamar lu, gue rapihin bentar, ya?” 

Tanpa menunggu persetujuan Steve, Terry langsung mengambil sapu dan alat pembersih lainnya. Ia membersihkan kamar Steve dan juga menyusun barang-barangnya dengan rapi. Steve tidak tinggal diam, ia ikut membantu Terry bersih-bersih. 

Terry melihat selembar kertas yang berisikan penagihan bayaran, ia melirik ke arah Steve dan bertanya, “ini tagihan apaan, Bang?”

Steve menoleh ke arah terry, lalu memicingkan matanya untuk melihat kertas yang ditunjukkan oleh yang lebih muda. “Oh, itu tagihan bayaran kuliah gue. Udah beberapa bulan gue nunggak.”

Terry mengangguk-anggukkan kepalanya, ia melihat kertas itu lagi. Nominal yang tertera di sana lumayan besar, Terry merasa kagum sekaligus iba dengan Steve. Lelaki itu sangat gigih untuk berkuliah, meskipun dirinya belum terlalu mampu untuk membiayainya. Sedangkan, Terry tidak ada keinginan untuk kuliah sama sekali, karena ia berpikir kalau dirinya akan diwariskan perusahaan oleh Ayahnya. Tetapi ia sadar, kalau dirinya terlalu bergantung dengan Ayahnya, ia juga memikirkan jika ayahnya tiada. Perusahaan tidak akan selamanya jaya dan begitu pula dengan harta, tidak akan selamanya utuh. Jika hal itu terjadi, ia harus berjuang seorang diri seperti Steve. Tidak butuh waktu lama Terry membersihkan kamar Steve, dirinya menyeka keringat yang berada di pelipisnya.

“Nih,” ucap Steve sambil menyodorkan uang seratus ribu kepada Terry.

“Gue bukan babu lu, nggak usah dibayar,” tolak Terry yang membuat Steve menggelengkan kepalanya. “Gue bukan bayar lu, tapi gue nyicil utang Abang gue.”

Terry terdiam dan kemudian langsung menggeleng, menolak pemberian uang dari Steve. “Nggak usah, Bang. Gue udah ikhlas.”

“Tapi gue nggak enak, terima aja.”

“Nggak. Mending uangnya lu simpen buat bayar kuliah.”

Steve mengulum bibirnya, lalu ia memeluk langsung memeluk Terry. “Makasih,” bisiknya tepat di telinga Terry, lantas yang lebih muda tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Setelah itu Steve melepas pelukannya, mengusap pipinya yang basah. Terry terkejut dan langsung membuka suaranya.

“Lu nangis?” Steve menggelengkan kepalanya dan kemudian membalas, “nggak, gue cuman ngeluarin air mata.”

Terry menggelengkan kepalanya, lalu menepuk-nepuk bahu Steve untuk menenangkannya. Setelah Steve selesai dengan urusan air matanya, Terry membuka suaranya kembali.

“Lu punya hape, nggak? Gue pengen nelpon Papa gue,” pinta Terry.

“Oh, ada. Tapi lagi dipegang sama Abang gue, minta aja. Kamar dia di sebelah gue.” ucap Steve.

Terry menganggukkan kepalanya dan langsung menghampiri kamar Daniel. Saat dirinya mengetuk-ngetuk pintu kamar Daniel, tidak ada sahutan sama sekali dari dalam. Sebab penasaran, ia mencoba menekan knop pintu, nyatanya tidak terkunci. Lantas, Terry menyelundupkan kepalanya di antara celah pintu.

“Bang Daniel?” panggilnya lagi. Namun, tetap saja tidak ada sahutan. Akhirnya Terry mencoba masuk lebih dalam, ia menatap sekelilingnya, kamar Daniel cukup rapih dan sepertinya masih lebih baik dibanding kamar Steve yang benar-benar seperti kapal pecah. Kemudian Terry terdiam sejenak, otaknya mulai traveling saat melihat tumpukkan tisu di atas ranjang dan juga lantai. Tak lama kemudian ia melihat Daniel keluar dari kamar mandi.

“Loh, Terry?” Daniel terkejut atas kehadiran yang lebih muda secara tiba-tiba, lalu ia menghampirinya. “Ada apa?”

“Itu,” Terry menunjuk ke arah kasur, yang membuat Daniel menoleh ke arah yang dituju. “Lu abis ngapain?”

Daniel tampak terkejut sekaligus panik, ia langsung mendorong Terry untuk keluar dan langsung menutup pintunya. Terry tersentak untuk beberapa saat, kini mereka sudah berada di luar.

“Nggak, bukan apa-apa,” jawab Daniel dengan cepat. Terry langsung melayangkan tatapan curiga.

“Yakin?” tanyanya yang membuat Daniel tersenyum paksa.

“Yakin. Itu gue abis nonton film sedih, makanya banyak tisu,” jelas Daniel yang membuat Terry membulatkan mulutnya sambil mengangguk.

“Gue pinjem hape lu dong, Bang. Gue pengen nelpon Papa gue,” ucap Terry yang membuat Daniel langsung mengangguk menyetujui permintaan Terry. Daniel merogoh sakunya dan langsung memberikan ponselnya kepada Terry. Yang lebih muda menekan beberapa digit nomor di ponsel milik Daniel, setelah itu ia menempelkan layar ponsel di telinganya. Setelah beberapa menit kemudian, tidak ada jawaban, Terry menghela napasnya dan langsung mengembalikan ponsel milik Daniel.

“Kenapa? Nggak jadi?” tanya Daniel sambil menerima ponselnya, lalu Terry menjawab, “nggak diangkat sama Papa gue, mungkin dia sibuk.”

Daniel mengangguk-anggukkan kepalanya. Terry menggaruk tengkuknya, dirinya merasa bingung, awalnya ia ingin meminta uang bulanan dari Ayahnya. Sejujurnya ia tidak ingin mengamen, tetapi saat tau keadaannya seperti ini, mau tidak mau ia harus melakukannya. Terry menatap Daniel, lalu membuka suaranya.

“Oh ya, tadi lu nonton film apaan, Bang?” tanyanya. Daniel yang sedang menatap ponselnya langsung mengalihkan pandangannya,

“Fifty Shades.” Terry mengerutkan dahinya dan kemudian mendekat ke arah Daniel. “Itukan Film dewasa, Bang.”

Daniel menatap Terry yang sedang menatapnya dengan tatapan horror. Ia terkejut dan ikut mendekatkan wajahnya, matanya juga ikut menatap Terry dengan horror, kemudian Daniel membuka suaranya dengan nada setengah berbisik.

“Lu nonton juga?”

Terry tersentak, kemudian ia menggelengkan kepalanya ribut. “E-enggak!”

Daniel memincingkan matanya, menatap Terry curiga. “Yakin?”

“Apaan, sih, Bang. Jelek lu! Gue mau tidur, makasih hapenya,” elak Terry dan langsung pergi menuju kamarnya. Hampir saja ia membuka kartunya sendiri.

Teman KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang