Dua

7.4K 1.5K 389
                                    

Lisa POV

Jangan ditanyakan lagi bagaimana kesalnya aku saat ini. Sebisa mungkin aku mengalihkannya dengan memejamkan mata, sebab jika aku marah pada makhluk itu, aku juga tak berani.

Dia bisa saja seorang penunggu hutan atau sejenisnya. Akan menjadi suatu masalah besar jika sampai aku memarahinya. Aku masih sangat berharap untuk bisa pulang.

Jas ini lagi-lagi harus aku cuci.

Arghhh.. Jika pakaian ini tidak berguna, aku bahkan lebih baik membuangnya!

Tetapi tidak bisa, di sisi lain aku juga sangat membutuhkannya.

Bayangkan, seisi rimbunnya hutan ini selalu dipenuhi oleh dengungan nyamuk, duri-duri kecil dari tanaman liar, semut-semut hitam, lalu yang paling menyebalkan adalah keadaan tanahnya jika sedang basah.

Huhh.. bergumam sendirian pun tak akan berpengaruh apa-apa. Aku lalu menghembuskan nafas.

Selesai membersihkan jas ku—yang tadi bekas terkena kotoran dari mulut sialan si Tarzan itu—aku kemudian kembali menjemurnya di bebatuan besar yang sama.

Ya Tuhan..

Tak adakah seseorang yang perduli padaku di luar sana? Keadaan ini benar-benar menyiksa!

Sedangkan si Tarzan ini—ya, aku menyebutnya seperti itu, terserah mau dia makhluk halus atau bukan, aku tidak perduli. Kelakuannya aneh. Bahkan setelah dia muntah di pakaianku, dia tanpa rasa bersalahnya malah terus saja menatapku.

Dia seperti patung sekarang.

Perempuan itu sedang berjongkok di sampingku, aku dapat merasakan tatapan matanya yang penuh kebingungan, tak ada henti-hentinya dalam menyusuri tubuhku.

Entahlah, mungkin dia heran melihat aku yang berbeda dengannya.

Tetapi satu hal yang aku akui. Kenapa aku tak merasakan risih sama sekali? Karena dia benar-benar wangi.

Aku bersungguh-sungguh, aku tidak gila.

Aroma badannya sangat tercium di hidungku. Aroma yang sama sekali tak ada mengganggu, dia malah dominan lebih wangi dari pada bau badanku.

Itulah mungkin sebabnya mengapa dia tiba-tiba muntah.

Aku setengah memalingkan wajah, mencoba untuk menatapnya. Alisku terangkat, berusaha terlihat ramah sambil menampilkan senyuman—meski sebenarnya fokus mataku terlalu jahat karena selalu mengarah ke bentuk tubuhnya yang masih bertelanjang bulat.

Matanya mengerdip beberapa kali ketika aku menatapnya. Sepertinya, dia memang benar-benar seorang Tarzan yang tak tahu apa itu manusia.

Satu tangannya tiba-tiba terangkat, aku refleks menahan nafasku ketika jari telunjuknya menusuk-nusuk lubang telingaku.

Hei, ini begitu geli..

Aku terkekeh sambil menjauhkan tangannya. Namun raut wajah Tarzan itu justru semakin mengerut. Dia beralih memperhatikan tanganku dengan kedua tangannya.

Mataku kini terus memperhatikan tiap pergerakannya.

Aku juga tidak tahu mengapa, tetapi dia sama sekali tak terlihat seperti orang jahat. Jika seperti ini, dia justru terlihat lucu dan lugu. Lihatlah saja, setelah dia memperhatikan tanganku, dia lalu membandingkannya dengan tangannya sendiri.

Kami berdua memiliki perbedaan yang kontras dalam tinggi tubuh. Tarzan ini jauh lebih pendek dariku.

Sampai beberapa saat kemudian, matanya melihat ke arah mataku lagi. Tatapannya begitu dalam, seolah-olah dia tengah bertanya namun dia tak bisa untuk mengucapkannya.

DEKLINASI - JENLISA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang