| 16 | 🦋 Interogasi 🦋

293 40 15
                                    

Aku duduk tak bergerak sambil meremat jari-jemariku yang terasa dingin dan berkeringat selama berada di kantor Kepala Sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku duduk tak bergerak sambil meremat jari-jemariku yang terasa dingin dan berkeringat selama berada di kantor Kepala Sekolah. Ini kali pertama aku dipanggil karena bukan alasan yang menyenangkan, melainkan karena sebuah masalah.

Jadi, ketika Pak Ibnu datang dan mendudukkan diri seraya menatap lurus padaku, aku benar-benar ingin sekali menghilang. Rasanya jantungku seperti sedang berusaha meloncat dari rongganya.

Dia berdeham sejenak. Sudut matanya melirik sekilas ke arah jam dinding yang tergantung di seberang ruangan. Hessel belum datang, jadi cuma aku yang berada di sini sendirian dalam keadaan cemas dan ketakutan.

"Jadi Rila ...." Pak Ibnu alias Pak Kepsek memulai. "Kamu sudah tahu alasan kamu dipanggil, 'kan?"

Aku menarik napas dan menggeleng. "Sejujurnya saya nggak tahu kenapa saya dipanggil, Pak."

"Ada laporan dari kepolisian kemarin."

Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak.

Kepolisian? Mendengarnya saja membuat sekujur rambut di tubuhku merinding. Teringat lagi bagaimana gilanya Hessel membawa motornya kemarin saat menghindari kejaran polisi, semakin membuatku tremor hebat.

"Laporan a—apa, Pak?" tanyaku dengan suara terbata.

"Ada balapan liar yang dilakukan banyak anak-anak remaja kemarin di daerah Senopati dan tiga pelajar sekolah kita ada yang tertangkap polisi. Semalam Bapak mengurus tuntas kasus tersebut dan sudah bicara dengan pelajar sekolah kita yang tertangkap. Tapi yang membuat Bapak kecewa, di antara semua nama yang terlibat, ada namamu dan juga Hessel. Apa itu benar?"

Aku menelan ludah. Tiba-tiba saja tenggorokanku kering. Bagaimana aku harus menjawabnya? Bahwa aku terpaksa berada di sana karena diculik Hessel? Lalu, aku tak sengaja bertemu dengan Nila dan rombongan teman-teman geng motornya?

"Rila?" Pak Ibnu menatapku dari balik kacamata bulatnya, menunggu jawabanku.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menjawab dengan mimik tenang, "Saya juga sebenernya nggak sengaja ada di sana, Pak."

"Nggak sengaja?" Pak Ibnu menautkan kedua alis.

"Iya, Pak." Aku mengangguk. "Saya cuma ikut Hessel soalnya kami mau kerja kelompok, tapi ternyata cowok itu bawa saya ke sana."

Pak Ibnu diam sejenak, menatapku lebih intens dari sebelumnya. Kemudian, kepala sekolah itu pun kembali bertanya, "Kalau begitu, bisa kamu beritahu Bapak siapa saja selain kalian yang ikut terlibat? Karena informasi yang Bapak dapatkan masih minim. Bapak ingin memproses ini secara tegas supaya tidak ada lagi murid sekolah kita yang melanggar aturan."

Aku tertegun. Apakah aku harus menjawabnya dengan jujur? Tapi entah mengapa, rasanya itu tidak benar. Maksudku, aku tidak ingin dicap sebagai pengadu. Lagipula, bukankah sekolah bisa menyelidikinya sendiri tanpa melibatkan kesaksianku?

Freak OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang