| 20 | 🦋 Detensi 🦋

195 24 3
                                    

Suasana ruang Kepala Sekolah hari itu tampak hening ketika kami diharuskan menulis surat perjanjian dan permintaan maaf di atas materai agar tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana ruang Kepala Sekolah hari itu tampak hening ketika kami diharuskan menulis surat perjanjian dan permintaan maaf di atas materai agar tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Kesalahan karena sudah terlibat balap liar di jalanan serta mengganggu ketertiban umum.

Ini pertama kalinya aku menjalankan hukuman dari sekolah. Rasanya amat memalukan dan menyebalkan. Ingin sekali aku menonjok muka Hessel yang saat ini duduk di hadapanku bersama Gio, sementara aku duduk bersebelahan dengan Sesil. Karena gara-gara dirinya aku bisa ikut terkena hukuman ini.

Dia juga sama sekali tidak membantu. Apa katanya tentang alibi? Huh, semua itu bullshit! Tidak ada alibi. Hampir sepanjang interogasi tadi, Hessel tak membuka mulut. Hanya menggeleng, mengangguk atau mengendikkan bahu selama menjawab pertanyaan.

Justru Gio dan Sesil yang bersemangat melakukan penyangkalan. Melimpahkan semua kesalahan pada kami. Mereka bilang kalau Hessel yang menggagas ide gila tentang taruhan balap itu. Mereka juga tidak menyinggung-nyinggung soal teman geng mereka yang lain. Padahal jelas-jelas bukan kami saja yang berada di sana. Ada banyak anak lain yang terlibat, termasuk Nila. Tapi, aku juga memilih bungkam. Jangan sampai nama Nila ikut masuk dalam daftar hitam sekolah. Dia sudah cukup bermasalah dengan nilai-nilainya.

Jadi, begitulah. Karena balapan liar dan melanggar peraturan lalu lintas, akhirnya kami dihukum menuliskan satu halaman penuh surat permintaan maaf dan berjanji tidak akan mengulangi hal itu di atas kertas folio bermaterai. Setelah itu, kami mendapat detensi tambahan untuk membersihkan gudang belakang serta WC sekolah selama satu minggu berturut-turut setelah pulang sekolah.

Luar biasa sekali, bukan?

Oh, tapi itu belum seberapa. Pak Ibnu dengan berbaik hati juga menyinggung masalah beasiswa prestasiku dan mengancam akan mencabutnya jika aku kedapatan membuat masalah lagi atau melakukan pelanggaran yang mencoreng nama baik sekolah, seperti balapan liar ini.

Ya, setidaknya Kepala Sekolah tidak berinisiatif untuk memanggil orang tua kami gara-gara masalah ini. Kalau tidak, aku pasti akan semakin stres memikirkan mama yang mungkin syok karena putri sulungnya diam-diam melakukan pelanggaran sekolah yang cukup fatal.

"Kenapa lo diem aja tadi?" cecarku pada Hessel saat perjalanan kami kembali menuju kelas.

Kami berempat yang telah selesai menulis surat permintaan maaf itu, harus kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran. Pulang sekolah nanti kami baru melaksanakan detensi kami.

"Buat apa? Semua buktinya juga udah ada," sahut Hessel tak acuh. Dia berjalan tegak di sisiku. Pandangannya lurus ke depan. Sejak tadi dia terlihat berusaha menghindari kontak mata denganku. Mungkin dia marah karena aku menolak tawaran untuk menjadi taruhannya.

Persetan! Memangnya aku sudah gila apa mau menerima begitu saja tawaran sintingnya?

"Lo 'kan bilang kalo lo punya alibi tadi."

Freak OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang