| 21 | 🦋 Tragedi Berdarah 🦋

267 33 9
                                    

Aku merentangkan tangan setelah selesai membereskan barang-barang penuh debu dan kotor dari sebuah lemari kayu yang terletak di sudut gudang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku merentangkan tangan setelah selesai membereskan barang-barang penuh debu dan kotor dari sebuah lemari kayu yang terletak di sudut gudang. Rasanya sungguh melelahkan. Sekarang sudah pukul lima sore sementara aku masih terjebak di tempat ini.

Hessel dan Gio—setelah pertengkaran mereka tadi—memutuskan untuk melaksanakan tugas secara terpisah. Mereka nyaris baku hantam jika aku dan Sesil tak cepat-cepat melerai.

Aku ingat bagaimana Gio mengucapkan satu kalimat tajam kepada Hessel yang entah mengapa membuatku merinding.

"Mau gimana pun lo berkelit, lo itu adalah pembunuh, Hessel. Pembunuh yang udah merenggut nyawa orang yang paling gue sayang."

Hessel sama sekali tak membalas kata-kata itu. Dia hanya diam dan langsung pergi meninggalkan gudang dengan wajah merah padam.

Saat itu aku merasakan ada aura aneh dalam diri Hessel yang jika kuinterpretasikan ke dalam pandanganku, auranya bernuansa gelap. Maksudku, aku bergidik sekali menatap sorotan matanya yang tampak mematikan ketika dia menatap ke arah Gio sebelum menghilang dari pandangan. Kurasa Hessel benar-benar marah dengan kalimat itu.

"Kita pulang aja, yuk!" Suara rengekan Sesil di seberang ruangan menyentakkan pikiranku.

Kulirik gadis berkulit porselen itu. Sesil tampak berdiri lesu sembari memegangi kain perca dengan wajah cemberut. Sejak tadi gadis itu cuma merengek-rengek tanpa benar-benar membantuku membereskan seisi gudang yang amat kotor dan berantakan ini. Jika dijelaskan secara harfiah, rasanya memang cuma aku seorang saja yang betul-betul melaksanakan hukuman bersih-bersih ini.

Baik Sesil, Gio apalagi Hessel—yang tak menampakkan batang hidungnya sejak tadi—mereka sama sekali tak membantu.

"Kita lanjut besok lagi. Udah sore soalnya. Ntar nyokap gue khawatir kalo gue pulang kesorean," sambung Sesil begitu menyadari aku tengah menatapnya.

Kedua bola mataku berotasi jengah. Yang benar saja. Memangnya aku tidak tahu betapa gilanya Sesil dan teman-temannya ketika mengajak Nila bermain di luar jam sekolah? Mereka bisa pulang sampai matahari terbenam. Jadi, basi banget 'kan kalau alasannya sekarang dia tidak bisa pulang kesorean karena takut orangtuanya khawatir?

"Bukannya lo biasa kelayapan dulu sebelum pulang ke rumah?" tukasku to the point.

Sesil menyeringai sekilas sebelum menjawab, "Ya, kalo itu 'kan beda. Gue udah minta ijin dulu sama ortu gue mau main. Kalo sekarang gue nggak ngabarin apa-apa. Pasti nanti nyokap gue khawatir. Gini-gini, gue anak cewek tunggal di rumah."

"Ya udah, tinggal kabarin aja lo masih di sekolah beresin gudang gara-gara kena detensi."

"Heh, gila lo!" Sesil mendelik dan aku baru menyadari lensa kontaknya berwarna keabu-abuan karena tersorot biasan cahaya matahari sore dari jendela di dekat tempatnya berdiri. "Bisa-bisa gue diceramahin pas pulang nanti."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Freak OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang