『 3 』Ingkar

591 57 21
                                    

Tangisan itu perlahan mereda. Sukuna yang entah mendapatkan kesabaran dari mana berhasil menahan diri untuk tidak menghina jiwa malang yang satu itu.

"Sudah selesai?" Suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya. Sepertinya, sang raja kutukan mulai menaruh simpati kepada perempuan ini.

Saitou mengangguk kaku. "Maaf, saya merusak suasana hati anda, seharusnya saya-"

"Lupakan saja. Aku sudah tidak tertarik dengan kuil dan manusia-manusia bodoh itu."

Entitas bertangan empat ini menatap sosok jiwa dihadapannya dengan malas. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara memancing perempuan itu untuk mengeluarkan emosi negatifnya. Yang ia tahu, semakin banyak arwah Miko ini menangis, malah semakin bersih pula jiwanya.

Jika begini caranya, maka rencananya akan sia-sia saja.

"Kau pernah keluar dari Kuil?" Sukuna bertanya asal sembari bertumpu tangan. Saitou yang tadi tertunduk takut kini kembali mengangkat wajahnya. Berbeda dengan mulutnya yang terkunci rapat, tatapan Saitou telah menjawab semua itu.

Satu sudut bibir sang raja kutukan ditarik, membentuk sebuah senyuman misterius. "Ho... Rupanya Miko yang satu ini bukan hamba yang taat-"

"Saya bukan orang yang seperti itu!" Suara Saitou meninggi untuk yang pertama kalinya. Dengan tidak sopannya, ia bahkan memotong kalimat Sukuna. Betapa malu dirinya ketika menyadari apa yang sudah dilakukannya.

"M-maaf, saya tidak bermaksud...." Arwah itu mencicit, dan kembali menundukkan kepalanya.

Sukuna terdiam, ia masih terkejut karena ini adalah pertama kalinya ada yang berani berteriak padanya. Tapi ekspresi itu langsung ia sembunyikan, kembali berganti menjadi sebuah seringai.

Yang ia tahu, kali ini reaksi perempuan itu berbeda. Dan mungkin, pancingannya kali ini akan berhasil.

"Lalu, apa yang kau lakukan di luar kuil?"

• ※ ·❆· ※ •

Saitou benar-benar menarik diri semenjak kejadian itu. Ia yang biasanya hampir memimpin upacara do'a di setiap ritual, sekarang sudah tidak pernah lagi menyentuh lonceng yang tergantung di haiden. Ia kerap kali memilih barisan paling belakang dan selalu menunduk setiap tiba hari berdo'a.

Bukan hanya itu, di usianya yang kini menginjak 19 tahun, Saitou tidak lagi pernah menarikan Sodebana. Ini semua karena ia takut jika saja kejadian di malam itu kembali terjadi padanya. Sikapnya yang dahulu ceria, kini berubah murung dan pendiam.

Hingga pada suatu ketika, Saitou sudah tidak tahan dengan hal-hal yang memenuhi pikirannya. Miko ini akhirnya memutuskan untuk menyusul Yashiro dan sang ayah ke atas sana. Maka, di tengah malam yang sunyi, Saitou menimba air dari temizuya untuk kemudian membersihkan diri dengan air itu. Dan setelah mengenakan kimono putih miliknya, Saitou bergegas menuju honden.

Tepat setelah fusuma ditutup, Saitou berlutut di hadapan Shinkyou sambil menggenggam erat sebuah belati perak di kedua tangannya. Air matanya kembali mengalir ketika dingin besi itu menyentuh kulitnya. Takut, ia takut ketika rasa sakit mulai terasa saat belati setengah tajam itu menoreh kulit indahnya.

Torehan itu berhenti di bawah dadanya. Saitou sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan harakiri. Ia memang mencintai Dewanya, tapi rasa cintanya tidaklah cukup untuk memberinya keberanian demi memersembahkan jiwa untuk sosok yang dipujanya.

Ah, ia malu dengan dirinya sendiri. Rasa sakit yang dirasakannya membuat keyakinan di dalam hati langsung tergoyahkan. Bagaimana mungkin ia masih bisa mengaku sebagai pengikut yang taat?

Purgatory [Ryomen Sukuna X OC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang