Part 8

592 42 4
                                    

(Namakamu) memutar tubuhnya, melepaskan

higheels yang mempersulit langkahnya itu, kini

sepatu berhak itu sedang (namakamu) jinjing.

Gadis itu berlari dengan tangis yang sudah tak

tertahan, menggubris orang-orang yang kini

menatapnya heran.

“Iqbaal” nama itu masih saja (Namakamu) sebut

disela-sela tangisnya. Rasanya gadis itu ingin

mati saja. Jadi pernyataan Iqbaal hanyalah

kebohongan belaka’kan?

**

Pagi ini..

Mentari kembali memancarkan sinarnya,

membuat para manusia tersadar dan kembali

melakukan aktivitas. Burung-burung pun masih

asyik bergelayut pada ranting pohon sambil

sesekali bersiul mendendangkan suara merdu

yang mampu membuat para insan yang

mendengarnya tenang.

Namun berbeda dengan gadis ini, (Namakamu).

Ia rasa harinya sangat membosankan, tak ada

sesuatu yang berubah. Hanya berbaring malas,

menelan makanan pada setiap tahapannya, dan

kembali menelungkupkan diri diatas ranjangnya,

tak ada hal mengenai sekolah, teman, sahabat,

tugas, dan cinta..

Yep, sudah tiga hari ini (Namakamu)

memutuskan untuk izin tak masuk sekolah. Ia

sangat benci jika harus menatap Adiba dan pria

penipu itu. semua temannya mencoba

menghubungi, namun gadis ini selalu tak

menggubris apapun yang masuk pada ponselnya.

“Hhh” Desah (Namakamu) saat sang ibu kembali

memerintahnya untuk mandi dan sarapan—selalu

begitu.

“Apa lo nggak akan mau lagi kesekolah? Yasudah,

kalo gitu lo keluar aja”

(Namakamu) yang tengah duduk dimeja makan

sambil menggosok-gosokan rambut panjangnya

dengan handuk menoleh kearah kakaknya yang

tampak tak peduli, “Gue ini yang nggak sekolah,

kenapa lo yang ribut sih?” Tak mau kalah,

(Namakamu) tersenyum getir membuat Pevita

seakan ingin melempar sendok yang ia gunakan

untuk menyantap nasi goreng dihadapannya

kepada (Namakamu).

“Ssh, lo gimana sih. Mamah tuh capek biayain

sekolah lo. Udah gitu elonya begok lagi, nggak

pernah dapet apapun yang membanggakan. Pikir

CrowdedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang