Bab 26

59 1 0
                                    

“Kenapa, Mba?” Tanya Raina melalui telpon, dimana Melati tiba-tiba saja menghubungi dirinya, saat akan menemui Alena, putri Laras.
 
“Aku boleh minta tolong sama kamu, Rain? Sebenernya aku nggak enak mau ngomongnya.”
 
“Boleh, Mba. Kenapa harus nggak enak gitu ke aku? Nggak apa, santai aja.”
 
“Aku dapat interview, kamu bisa temani Luna sebentar? Soalnya nggak memungkinkan untuk aku bawa Luna kesana, Rain.”
 
“Bisa kok, Mba, kebetulan aku udah pulang kantor. Mba lagi dimana?”
 
“Kita ketemuan di lobby Apartemen aku aja, kamu bisa? Maaf banget ya, kalau aku ganggu waktu kamu. Aku nggak tau lagi mau minta tolong ke siapa buat titipin Luna.”
 
“Iya, Mba. Santai aja, aku bisa kok. Yaudah kalau begitu aku langsung ke Apartemen Mba, ya?”
 
“Iya, Rain. Makasih ya, sekali lagi.” Ujar Melati diseberang sana, kemudian mematikan sambungan telpon.
 
“Alena!” Panggil Raina, saat melihat Alena diseberang jalan.
 
“Disini!” Teriaknya lagi, melambaikan tangannya.
 
“Hai, apa kabar?” Sapa Raina pertama kali mereka bertemu kembali.
 
As you see.” Jawab Alena, masih dalam mode ketus.
 
“Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran, dan mau ikut aku ke pameran buku?”
 
“Emang banyak nanya ya, lo.” Jawabnya.
 
“Maaf banget sebelumnya, panggilan kamu itu agak risi di telinga aku, karena memang kita bukan seumuran, kamu bisa panggil aku Kakak, ya, anggap aku seperti Kakak kamu, jadi kamu nggak perlu sungkan ke aku, oke?” Ujar Raina memperjelas dan memperbaiki ucapan Alena.
 
“Kamu benar-benar suka baca buku?” Tanya Raina, masih mencoba mendekatkan diri dengan Alena.
 
“Hmm.” Jawaban Alena yang membuat Raina kembali berpikir, ternyata susah sekali mendekati Alena, dan mengajaknya untuk bicara santai.
 
“Oh iya, sebelum kita ke mall, kita ke Apartemen Sakura dulu, ya? Gimana?”
 
“Mau ngapain? Lo mau ajak cowok, lo?” Tanya Alena yang membuat Raina tertawa pelan.
 
“Nggak kok. Kita ke tempat teman aku dulu, ya. Kebetulan hari ini dia ada interview kerjaan, jadi dia mau nitip anaknya sama aku. Tenang aja, kalau kamu nggak suka sama anak kecil, anak itu baik kok, aku jamin pasti kamu langsung suka sama dia.”
 
“Selain jadi Jaksa, lo punya kerjaan sampingan juga? Baby sitter?”
 
“Ayo kita berangkat, itu taksi kita.” Ajak Raina kepada Alena kemudian mereka berdua menaiki taksi yang sebelumnya sudah di pesan oleh Raina.

***

 “Maaf banget ya, Rain kalau aku bikin repot sama ganggu waktu kamu.” Ujar Melati merasa tak enak.
 
“Nggak, Mba. Udah, santai aja kali.”
 
“Aku titip Luna sebentar ya?”
 
“Iya, semangat interviewnya ya, Mba. Semoga lolos!” Ucap Raina menyemangati Melati.
 
“Luna jangan nakal ya sayang, Luna sama Tante Raina dulu, oke? Amih mau pergi sebentar, janji deh Amih, sebentar doang kok.”
 
“Jadi Luna sama ibu peli dulu ya, Amih? Oke deh, Luna suka banget sama ibu peli. Amih pelginya lama-lama juga Luna suka kok, kan ada ibu pelinya Luna.” Jawaban polos Luna terdengar lucu, dengan logatnya yang terdengar masih sedikit cadel.
 
“Yaudah aku pergi dulu ya, Rain. Titip Luna ya. Luna, Amih pergi dulu ya, ingat jaangan nakal dan bikin repot Tante Raina ya sayang, oke?”
 
“Oke, Amih!” Jawab Luna bersemangat.
 
“Kita mau pergi kemana ibu peli?” Tanya Luna setelah Melati meninggalkan lobby Apartemen menggunakan mobil miliknya.
 
“Kita ke toko buku dulu ya cantik, gimana kamu mau kan? Setelahnya baru kita cari makan, Luna udah makan belum, sayang?”
 
“Oke deh, Luna juga mau beli pensil walna-walni balu ya ibu peli. Luna udah makan kok tadi disuapin sama Amih, pakai telol dadal kecap.” Pintanya.
 
“Iya sayang, boleh kok. Tapi, Luna harus janji ya, jadi anak yang baik. Nanti sehabis dari toko buku kita makan lagi, oke?”
 
“Oke deh!”
 
“Eh? Ini siapa ibu peli?” Tanya Luna saat melihat ada Alena di dalam taksi yang mereka naiki, karena saat di lobby Apartemen tadi Alena tidak ikut turun, bertemu dengan Melati juga Luna.
 
“Ini Kakak Alena.” Jawab Raina, memperkenalkan.
 
“Halo Kakak Nea!” Kata Luna dengan bersemangat menyapa Alena.
 
“Namanya Kakak Alena sayang, bukan Nea.”
 
“Nama Kakak itu susah ibu peli, Luna nggak bisa ngomongnya, Luna mau panggil Kakak Nea aja boleh nggak ibu peli?”
 
“Coba Luna tanya sama Kakaknya, boleh nggak.”
 
“Boleh nggak, Kak? Kalena Luna masih kecil, umulnya masih kecil bisanya panggil Kakak Nea, Luna panggil Kakak, Kakak Nea aja ya?”
 
“Hmm. Panggilannya nggak terlalu buruk.”
 
“Oke deh! Belalti sekarang Kakak Nea temenan sama Luna ya? Kita sekalang geng?”
 
“Eh, geng?” Kaget Raina.
 
“Iya, kemalin Luna dengal ada Kakak-kakak kayak Kak Nea gini, pakai selagam walna gley, bilang kalo meleka itu geng, telus Luna tanya sama Amih geng itu apa, tapi kata Amih anak kecil nggak boleh geng-gengan. Kata Amih geng itu teman, belalti Luna sama Kak Nea sekalang geng kan ibu peli?”
 
“Cukup teman aja, bukan geng. Oke? Geng itu nggak baik. Luna kan anak baik.” Ujar Raina yang dibalas anggukan oleh Luna dan acungan jempol dari tangan mungilnya.
 
“Kamu suka sejarah juga?” Tanya Raina saat mereka bertiga sudah tiba di tempat pameran buku, dan Alena langsung menghampiri ke jajaran rak buku-buku sejarah dunia.
 
Alena tak menjawab, hanya anggukan kecil yang diperlihatkannya.
 
“Lo juga suka sejarah?” Tanya Alena.
 
“Iya, aku memang dari dulu suka banget sama hal-hal yang berbau sosial gini, sejarah salah satunya. Bahkan dulu waktu aku SMA sampai sempat pindah jurusan, awalnya aku di IPA tapi, aku ajuin diri buat pindah ke kelas IPS karena saking sukanya sama ilmu-ilmu sosial. Kamu ngambil jurusan apa di Sekolah?”
 
“Di Sekolah gue jurusan Sekolah bukan diri kita yang tentuin mau kemana, tapi berdasarkan kemampuan diri kita.”
 
“Iya, aku tau kok. Dulu, aku juga begitu, sebelum ditentuin jurusan, murid-murid di tes dulu kan kemampuannya.”
 
“Gue IPA.”
 
“Woah, kamu hebat. Anak IPA, tapi suka sama sejarah-sejarah. Sebagai alumni IPS, aku salut sama kamu, Alena.”
 
“Biasa aja sih.”
 
“Ibu peli.” Panggil Luna.
 
“Iya sayang? Kenapa?”
 
“Kakak Nea saliwawan ya?” Bisiknya ke telinga Raina.
 
“Kenapa memangnya?”
 
“Dali tadi, setiap ibu peli tanya, dia ngomong sedikit. Luna kalau lagi saliwawan juga sedikit-sedikit kok kalo ngomong, soalnya mulutnya sakit buat ngomong. Kita ke doktel dulu aja ibu peli, kasihan Kak Nea pasti sakit deh mulutnya kalau ngomong.” Ujar Luna masih berbisik, namun, Alena masih bisa mendengarkannya.
 
“Nggak kok. Kak Alena memang begitu sayang.”
 
“Oh, begitu ya. Telus kita kapan nih beli pensil walna-walninya, Luna udah nggak sabal banget.”
 
“Iya, sebentar ya. Kita temani Kak Nea nya cari buku dulu, oke?”
 
“Oke deh! Tapi jangan lama-lama ya Kak Nea, Luna udah nggak sabal buat punya pensil walna-walni yang balu nih. Pensil walna-walni Luna soalnya udah mau habis di lumah.”
 
“Iya.” Jawab Alena kemudian tersenyum manis. Tunggu dulu, remaja perempuan itu tersenyum? Raina baru pertama kali melihatnya sejak bertemu dengannya kemarin.
 
“Raina?” Panggil seseorang terhadap Raina, yang membuat dirinya menoleh.






















Jangan lupa tandai ya kalau ada typo🤗

Karena part ini belum aku koreksi, jadi masih anget bgtt, fresh from oven nih wkwkwk.

See yew🧚‍♀️
 
 

Miss.IndependentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang