****
Sebenarnya Beni malas sekali setiap kali disuruh datang untuk menginjakan kakinya ke dalam rumah mewah ini, apalagi setelah semalam suntuk ia sibuk menikmati surga dunia dengan seorang wanita yang ia bayar mahal. Tapi, mau bagaimana lagi, jika tidak dituruti Papanya itu sangat menyebalkan.
Terlahir menjadi anak bungsu dengan tiga kakak perempuan yang hebat dan pintar bukanlah suatu kebanggaan untuk Beni. Kalau saja ia bisa memilih, ia ingin sekali dilahirkan sebagai seorang perempuan agar tidak ada lagi kaum wanita di rumah ini yang memusuhinya.
Harusnya, sejak lima tahun yang lalu kursi kepemimpinan di perusahaan Papa sudah jatuh ke tangan Kak Melani, karena beliau adalah anak sulung keluarga Hadinata. Tapi Januar Hadinata yang merupakan ayahnya malah memilih Beni untuk duduk di kursi tertinggi perusahaan hanya karena ia anak laki-laki.
Padahal Beni tidak butuh itu semua, diberi satu aset kekayaan Papa untuk memulai bisnisnya sendiri saja itu sudah cukup. Jujur, dibanding harus dimusuhi ketiga kakaknya, Beni lebih memilih bekerja menjadi pegawai biasa, atau paling tidak jabatan yang tidak terlalu tinggi. Bukan Beni tidak bersyukur tapi ia benar-benar tidak paham mengapa hidupnya harus begitu menyedihkan hanya karena ia terlahir berbeda.
Kalau Beni boleh jujur, Melani sebenarnya jauh lebih kompeten untuk memimpin perusahaan dibanding dirinya. Wanita itu mandiri, tegas, dan berwibawa, tapi Januar Hadinata merupakan orang yang kolot dan percaya kalau hanya anak laki-laki yang pantas menjabat sebagai Pemimpin.
Beni kira menjadi satu-satunya itu menyenangkan ternyata menyebalkan. Beni kira menjadi berbeda itu menguntungkan, ternyata menyakitkan. Beni tidak berharap apa pun selain bisa hidup normal dengan ketiga saudaranya.
"Mau sampai kapan kamu mengelola restoran reyot itu?" Januar Hadinata, pemilik sekaligus pemegang saham tertinggi di PT. Boga Saji memecah hening yang terjadi di ruang makan itu.
Beni yang baru saja hendak melahap sarapannya ke dalam mulut mendadak meringis kecil seraya melirik sosok dingin yang sedang duduk di ujung meja makan dengan kedipan mata kaget. "Papa ngomong sama aku?" ujarnya.
Sontak saja seluruh penghuni yang sedang duduk di sana pun langsung mematung seraya mengangkat wajah menatap satu-satunya sosok yang begitu berani menantang sang ayah. Tidak ada satu orang pun yang bisa membantah ucapan Januar Hadinata, apalagi menolak pintanya.
"Bener ya, ngomong sama aku?"
Januar sampai meletakan sendoknya ke atas meja dengan sentakan keras. Ia menatap putra bungsunya itu seraya melotot tajam. "Memang siapa lagi di keluarga ini yang punya restoran reyot?"
Beni berdehem, ikut meletakan sendoknya ke atas piring seraya meringis. "Siapa sih yang punya restoran reyot, malu-maluin aja," ujarnya pura-pura tak paham. Ia lalu menatap ke arah Afika-kakak keduanya yang sedang duduk di depannya itu. "Elo ya, Mbak?"
Afika berdecak, menghentikan makannya untuk menatap Beni dengan tajam. "Elo emang cocok sama restoran reyot lo itu! Sama-sama gak menghasilkan," ejeknya yang kontan membuat Beni memicikan mata dengan bibir mencibir.
"Enak aja ...," protesnya sewot. "Gitu-gitu gue bangunnya pake keringet, Mbak. Kerja keras gue itu."
Lalu tiba-tiba saja Kalina-kakak ketiganya ikut menyeletuk, "bangunnya pake uang Papa kali, pake keringet lo mah gak akan jadi tuh restoran."
"Ya maksud gue juga pake uang Papa."
"Terus dimana kerja keras lo?"
"Minta uang sama Papa juga butuh kerja keras, Mbak," jawab Beni penuh jenaka. "Emang lo kira gampang minta uang sama Bokap lo?"

KAMU SEDANG MEMBACA
FLAWSOME
HumorHidup tidak akan berubah hanya karena kita menginginkannya *** Katanya, setiap manusia di dunia memiliki tujuh kembaran yang berbeda darah atau setidaknya orang yang benar-benar mirip, dan Beni percaya itu. Ia percaya kalau di luar sana akan ada ora...