FLAWSOME 6

2.2K 503 145
                                    

****

Setelah membasuh wajahnya dengan air, Berlian lantas kembali merapikan penampilannya, terutama di bagian wajah. Ia beri make up sedikit, lipstik dan juga bedak. Berlian menatap pantulan dirinya dengan napas yang tertarik berat. Rasanya lebih baik bekerja sebagai Office Girl dibanding Personal Assistant dari seorang Beni Hadinata.

Kenapa Berlian tidak terpikir ke sana? Maksudnya, kenapa ia tidak terpikir kalau bisa saja Direktur Utama yang baru itu adalah anak laki-laki Januar Hadinata? Berlian tentu ingat kalau dulu Januar pernah memaksa Beni untuk menjadi penerusnya meski anak laki-laki itu menolak dan lebih ingin memiliki usaha sendiri.

Berlian ingat itu, mereka pernah membicarakan tentang membangun sebuah rumah makan, Beni yang memberi modal, dan Berlian yang memasak. Pikirnya Beni memang tidak akan pernah mau menduduki jabatan di perusahaan ini, pikirnya Beni sudah memiliki sebuah usaha yang lelaki itu kelola dengan jerih payah endiri. Tapi nyatanya, Beni malah bertugas langsung sebagai atasan Berlian.

Ya ampun, Berlian merasa benar-benar sial.

"Apa gue resign aja ya?" gerutunya dari balik kaca. "Tapi dendanya besar banget." Dua ratus juta, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu? "Ya Tuhan, apa harus sekarang penebusan dosa itu?" lirihnya terpejam.

Setelah beberapa menit menenangkan diri, Berlian lantas keluar dari kamar mandi, melangkah kembali menuju ruangan petinggi perusahaan itu berada. Saat membuka pintu kaca yang terhubung ke meja Sekertaris, Berlian mendapati Zeki dan Silvi memandangnya bingung.

"Kamu abis dari mana? Bos tadi nyariin." Silvi membuka suara seraya mendekati Berlian yang meski sudah memakai make up tetap saja terlihat pucat.

"I-tu ... " ia tergagap, mencari alasan yang tepat. "Tadi saya kebelet, jadi buru-buru ke toilet."

"Owalah, saya kira kamu kabur karena abis lihat setan," sahut Zeki yang juga ikut menghampirinya.

Berlian ingin membenarkan ucapan lelaki itu, tapi ia belum memiliki nyali banyak untuk mengutarakannya. Nyatanya Berlian memang baru saja melihat setan di ruangan Bos mereka.

Setan mesum!

"Ya udah, kalo gitu ini meja kamu-eh, enaknya dipanggil apa nih? Berlian, Lian, apa Ber?" Zeki kembali membuka suaranya, membuat Berlian dengan cepat menjawab,

"Panggil aja Li-"

"Be ...." Pintu jati dengan ukiran mewah di depan saja terbuka, membuat semuanya serentak menoleh, tidak terkecuali Berlian. Mereka lalu membelalak kaget. Bukan pada pemilik suara itu, tapi pada nama panggilan yang Bos mereka sebut.

"Bos-panggil saya?" Zeki terlihat bingung dan kagetm

"Emang nama lo Be?" ujar Beni sewot.

Zeki langsung menggeleng dengan bibir terkantup rapat. "Engga sih, Bos."

"Ya udah, artinya bukan elo!" Lantas Beni menoleh pada Berlian yang sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menggeram. "Be ... masuk."

Wanita itu menipiskan bibirnya, membalas tatapan Beni dengan sorot sebal. "Iya, Pak," jawabnya terpaksa.

Baik Silvi dan Zeki sama-sama melemparkan tatapan tidak menyangka. Mendengar panggilan gemas dari Bos mereka pada sang asisten membuat keduanya bertanya-tanya.

"Bi? Artinya apa ya, Mas?" tanya Silvi mengerjap bingung.

Zeki yang sama bingungnya menggelengkan kepala. "Yang jelas kita gak boleh panggil Berlian dengan sebutan itu kalo masih mau kerja di sini." Karena Zeki tahu Bos mereka tidak suka berbagi.

***

"Ada apa?" Berlian langsung melemparkan pertanyaan bernada ketus begitu tubuh mereka tiba di dalam ruangan itu.

FLAWSOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang