****
Menginjakan kakinya kembali di Ibu Kota bukanlah sesuatu yang mudah untuk Berlian, tapi demi sang anak dan juga masa depannya, Berlian mencoba menguatkan diri untuk kembali ke sini. Berlian yakin, sepintar apa pun ia bersembunyi, kalau sudah waktunya bertemu ia pasti akan bertemu dengan sosok itu, hanya tinggal menunggu bagaimana takdir mempertemukan mereka.
Kalau bisa sih, Berlian ingin tidak dipertemukan. Tapi balik lagi, hidup tidak selalu berjalan seperti inginnya. Lima hari tinggal di Ibu Kota, Berlian baru tahu kalau Mas Abi ternyata bekerja di salah satu perusahaan yang seharusnya ia hindari. Berlian tidak benar-benar ingat nama perusahaan itu, tapi saat datang untuk menghadiri interview kerja, Berlian tahu, dunia memang kecil untuknya.
"Selamat, kamu diterima bekerja di PT. Boga Saji."
Begitulah kira-kira apa yang kepala HRD katakan padanya.
Harusnya Berlian senang kan? Ia sudah memiliki pekerjaan meski hanya sebagai petugas kebersihan atau nama kerennya Office Girl. Ia hanya lulusan SMA, kuliah yang seharusnya membuat ia memiliki ijazah lebih tinggi tidak bisa Berlian lanjutkan karena saat itu ia memilih pergi ke Surabaya begitu tahu kalau dirinya hamil.
Tapi mengapa rasanya Berlian menyesal kembali lagi ke Jakarta. Kenapa hanya Perusahaan ini dari banyaknya Perusahaan di Jakarta yang bisa memberinya pekerjaan. Ya ampun, Berlian harus menyebutnya apa? Kesialan atau keberuntungan?
"Gimana, Li? Diterima kan?" Mas Abi segera menghampirinya begitu Berlian tiba di lobby.
Wanita itu baru saja turun dari lantai lima setelah kepala HRD di perusahaan ini mengatakan ia telah diterima bekerja di sana. "Ya, Mas."
"Syukur deh," desah Mas Abi lega. "Mulai kapan kerjanya?" Mas Abi kembali melemparkan pertanyaan seraya tubuh mereka beranjak keluar dari gedung perusahaan itu.
Berlian ingat, ia pernah dibawa ke sini. Ia pernah menginjakan kakinya di tempat ini. Berlian tahu, gedung perusahaan ini tidak berubah meski sudah lima tahun lebih dari pertama kali ia datang, waktu berlalu cukup cepat dan sekarang tanpa ia sadari Berlian kembali menginjakan kakinya di tempat ini lagi.
"Katanya senin, Mas."
"Wah, bagus. Semoga betah ya, Li. Maaf Mas cuma bisa kasih kamu kerjaan ini."
Berlian mengangguk mengerti. Sejujurnya, ada banyak hal yang ia sesali dari hidupnya, salah satunya tentang kuliah yang tidak selesai. Jika dirunut dari awal, semua langkah yang ia ambil memang menjadi penyesalan. Kecuali satu, mempertahankan Bevan di hidupnya.
"Gak apa-apa, Mas." Sudah terlanjur, ia juga sudah tidak bisa membatalkan perjanjian kontrak kerja dengan perusahaan ini, pinalty yang diberikan sangat besar dan Berlian yakin ia tidak bisa membayar itu. "Bisa dapet kerja aja aku udah bersyukur."
"Kamu gak usah takut masalah gaji. Perusahaan ini banyak banget yang ngelamar karena gajinya yang besar." Mereka sudah tiba di luar gedung, menunggu angkot yang akan lewat. "Pimpinan perusahaan ini namanya Pak Januar, wakilnya Bu Melani, anak sulung Pak Januar. Nanti juga ada Pimpinan Divisi Pemasaran, namanya Bu Kalina, anak ketiga dari Pak Januar. Sebenarnya Pak Januar punya empat anak. Yang paling bungsu itu laki-laki, tapi dia gak kerja di sini. Mas lupa namanya siapa, katanya dia lebih milih buka usaha dibanding nerusin bisnis Pak Januar."
Berlian sontak tercekat, dadanya tahu-tahu berdebar tak santai. Ia mendadak resah, merasa tidak nyaman. Tiba-tiba kilasan kejadian yang tidak ingin ia ingat bertebaran di kepala. Beruntung angkutan umum yang ia tumpangi untuk sampai ke rumah kontrakan tiba, berlian tidak perlu menunjukan wajah pasinya pada Mas Abi.
"Mas, angkotnya udah dateng. Aku pulang ya."
"Ya udah, kamu hati-hati, Li."
"Iya, Mas." Lantas Berlian naik ke dalam angkutan umum itu, duduk di kursi paling pojok, menyandarkan kepalanya pada kaca lalu menarik napas berulang-ulang seraya menghembuskannya perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAWSOME
HumorHidup tidak akan berubah hanya karena kita menginginkannya *** Katanya, setiap manusia di dunia memiliki tujuh kembaran yang berbeda darah atau setidaknya orang yang benar-benar mirip, dan Beni percaya itu. Ia percaya kalau di luar sana akan ada ora...