****
"Balik ke Jakarta aja, Li." Sudah kesekian kalinya Bude Yum berkata demikian setiap mereka melakukan panggilan telepon. Bude terus memaksa Berlian kembali ke Jakarta setelah lima tahun lebih ia memilih pergi dari Ibu Kota untuk melanjutkan hidup di Surabaya. "Abi bilang bisa bantu kamu cari kerjaan di tempatnya."
Mungkin Bude tidak akan memaksa seperti ini kalau saja tiga minggu yang lalu Berlian tidak dipecat karena pengurangan karyawan di tempatnya bekerja. Sudah tiga minggu Berlian menjadi pengangguran. Uang simpanan juga sudah mulai menipis sementara ia kesulitan mendapatkan pekerjaan.
"Aku masih mikir-mikir, Bude."
"Udahlah gak usah kelamaan mikir, kasihan Bevan."
"Bevan baik-baik aja, Bude," desah Berlian dengan tangan memijat kening. Ia lantas menolehkan wajahnya menatap ke arah ruang tengah dimana boca laki-laki berumur lima tahun itu sedang berguling-gulingan seraya memainkan mobil-mobilan yang ia belikan beberapa hari yang lalu.
Bevan adalah buah hatinya yang telah ia lahirkan dengan susah payah. Lima tahun yang lalu ia berjuang antara hidup dan mati di ruang bersalin, mengerang penuh kesakitan, mengerahkan seluruh tenaga untuk membawa bayi mungil itu ke dunia tanpa seorang suami dan keluarga.
Bevan adalah segalanya untuk Berlian. Hidup dan matinya, bahkan Berlian rela melakukan apa pun untuk anaknya itu. Ia berjanji tidak akan membuat Bevan menderita meski mereka hanya hidup berdua.
"Kamu gak usah takut ketemu ayahnya Bevan kalo itu yang ngebuat kamu gak mau ke sini. Jakarta luas, Li."
"Bude-"
"Sudah-sudah, pokoknya kamu ke sini aja. Kamu gak kasihan ninggal Bevan sama tetangga kalo kamu kerja? Di sini Bude bisa jagain Bevan, ada Abi juga. Udahlah, gak usah kamu mikir-mikir lagi."
Berlian kembali terdiam, mencoba menimbang saran Bude. Sejujurnya ia tidak tega meninggalkan Bevan dengan tetangga setiap ia bekerja. Terkadang kalau memikirkan itu, Berlian merasa jahat, tapi hidup tetap harus berjalan, ia terpaksa meninggalkan Bevan untuk mencari uang.
Bukan inginnya, tapi memang begitu jalannya.
"Besok Berlian kabarin ya, Bude. Berlian masih mau coba cari kerja dulu di sini."
"Haduhh ...." Bude Yum meringis gemas. "Keras kepala kamu tuh. Terserah deh."
"Maaf, Bude-"
"Ya udahlah, percuma Bude bilangin juga. Kamu gak pernah dengerin." Bude marah, Berlian tahu itu. "Kalo gitu Bude tutup aja teleponnya."
Lalu panggilan itu terputus, Berlian menghela dengan napas berat. Jakarta adalah satu-satunya kota yang tidak ingin ia pijak, kota yang membuatnya merasa sakit setiap mengingatnya. Lima tahun lebih meninggalkan Jakarta, tak sekali pun Berlian ingin kembali.
Tapi, apa sekarang harus?
Demi Bevan. Ia tidak mungkin terus menganggur. Berlian butuh banyak biaya untuk menghidupi Bevan, anaknya itu sedang aktif-aktifnya. Bevan harus sekolah, harus membeli susu, belum lagi mainan yang ingin dibeli. Berlian benar-benar harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Jakarta memang yang terbaik, selain banyak pekerjaan yang bisa ia dapatkan, di sana juga ada Bude Yum dan Mas Abi. Mereka yang Berlian miliki sejak kedua orang tuanya meninggal.
"Bunda ...." sang anak memanggil, membuat Berlian terkesiap dengan tolehan kepala cepat.
"Iya, sayang?"
"Jakarta itu dimana sih, Bunda?" tanya si kecil yang mulai cerewet itu.
Banyak hal yang Bevan tanyakan sejak usianya menginjak lima tahun. Bevan pintar berbicara, banyak sekali yang ingin ia tahu, pengucapannya pun sangat rapi dan tidak berbelit. Berlian tahu darimana anaknya mendapatkan kemampuan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAWSOME
HumorHidup tidak akan berubah hanya karena kita menginginkannya *** Katanya, setiap manusia di dunia memiliki tujuh kembaran yang berbeda darah atau setidaknya orang yang benar-benar mirip, dan Beni percaya itu. Ia percaya kalau di luar sana akan ada ora...