Seperti biasa, selesai Rudy melintas para gadis di kampus akan mengikuti pemilik punggung tegap itu sampai tak terlihat lagi. Seorang dosen tampan yang mempunyai kulit putih dan tatapan begitu meneduhkan. Membuat siapa saja melihatnya akan meleleh, tak terkecuali Anggi, mahasiswi dari jurusan Pendidikan Matematika.
"Gimana aku nggak tambah sayang kalau Mas Dosen makin hari makin berseri gitu?" gumam Anggi dengan menyebut nama kesayangan yang sudah ia siapkan khusus untuk Rudy.
Kedua tangannya menangkup wajah sambil membayangkan senyum tipis yang terukir di sudut bibir Rudy. "Udah kalem, pasti gandengannya sabar, tegas lagi. Beruntung banget yang bisa jadi istrinya. Ihhh, aku juga mau kalau itu!" lanjut Anggi gemas sendiri.
Gadis itu menoleh ke samping dan menyenggol lengan temannya yang ternyata memandang ke depan dengan tatapan kosong.
Soraya yang lebih sering dipanggil Aya, teman yang baru Anggi dapatkan saat menjadi mahasiswi. Seolah bisa melengkapi dan memahami sifatnya yang ceroboh. Gadis itu menautkan alis untuk bertanya kenapa.
"Kamu dari tadi nggak denger aku ngomong, Sor? Bengong mulu, mikirin apa, sih? Ibu kamu baik-baik aja, 'kan? Mana kemarin kamu nggak angkat telepon aku lagi." Ah, cukup Anggi yang memanggil dengan panggilan tidak estetik tersebut.
Pemilik rambut sebahu itu menelan saliva sambil menutupi tangan kiri dengan buku paket. "Ibu baik, kemarin pas kamu telepon ada donatur datang dan aku disuruh buat nemenin ayah temui mereka. Maaf, ya," ucap Aya sambil tersenyum.
Perkataan Aya tak sepenuhnya salah. Kedua orang tuanya memiliki sebuah yayasan panti asuhan dan sering mendapat bantuan dari orang-orang yang berhati baik. Sayangnya, kesehatan Ibu Aya memburuk akhir-akhir tahun ini.
Kemarin ia sampai pulang tergesa-gesa karena ayahnya menyuruh pulang tanpa alasan yang jelas. Tentu saja hal itu membuat Aya sepanjang jalan dihantui pikiran negatif.
Namun, setelah mendapat penjelasan dari ayahnya, semalaman Aya berpikir keras dengan tawaran yang datang sangat tiba-tiba itu. Perjodohan.
"It's ok. Tapi harusnya bisa kasih kabar lewat chat gitu, Sor. Kalau mendesak banget juga bisa aku antar, daripada langsung menghilang kayak kemarin," balas Anggi dengan wajah tertekuk.
Aya pun tertawa renyah sembari mencubit pipi Anggi dengan tangan kanannya. "Biasa aja kali, Gi. Kemarin selesai nge-MC aku langsung cabut, udah bingung duluan pas ayah nyuruh aku pulang. Jadi nggak kepikiran yang lain-lain selain rumah."
Semakin beralasan, rasa bersalah kian menyelimuti Aya. Harusnya ia mengatakan semua pada Anggi sekarang, tapi lidahnya masih kelu untuk berkata jujur. Pikiran Aya kembali ke hari Minggu kemarin.
***
"Jadi, kamu juga kuliah di Universitas Pattimura juga? Semester berapa?"
Seorang lelaki membuka percakapan setelah diberi kesempatan untuk saling mengenal lebih jauh lagi. Mereka duduk di teras samping sambil memperhatikan anak-anak panti bermain di halaman depan.
"Tahun ini baru masuk semester lima, Pak," jawab Aya canggung.
"Lalu selama ini tinggal di mana? Asrama atau kos?" tanya lelaki yang mengenakan kemeja abu-abu.
"Di asrama, pemiliknya kebetulan teman ayah. Jadi dipaksa tinggal di sana."
Tidak tahu harus bertanya apa lagi, keduanya kembali diam. Sampai tangan lelaki di sampingnya menyodorkan ponsel ke Aya. "Boleh minta nomornya? Ya, persiapan kalau habis ini ada sesuatu yang harus kita bicarakan."
Dengan tangan sedingin es, Aya menuliskan deretan angka di ponsel pintar milik orang yang banyak dipuja di kampusnya tersebut, lalu mengembalikan kepada pemilik tanpa berani menatap ke arah mata yang penuh dengan kedamaian.
Aya mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja karena ada notifikasi masuk.
"Itu nomor saya," kata lelaki di sampingnya lagi.
"Ah, iya, Pak. Biar saya simpan."
Entah karena malu atau memang sama-sama canggung, suasana kembali hening. Seolah tak ada hal menarik lainnya untuk dibicarakan lagi.
"Mungkin kalau bisa jangan manggil 'pak', ya. Saya juga tidak mengajar di fakultas kamu," ujar Rudy akhirnya.
Iya, Rudy Afriyanto, dosen tampan incaran para mahasiswi di kampus. Siapa sangka kalau hari ini dia dan keluarga akan datang ke rumah untuk acara lamaran. Aya sampai tak bisa berkata-kata sembari menatap kedua orang tuanya yang tampak bahagia. Mereka tak pernah membicarakan hal semacam ini sebelumnya, menyinggungnya saja tidak.
"Udah belum kenalannya? Kapan-kapan ajak Aya main ke rumah, ya." Laras menghampiri keduanya, lalu merangkul Aya. "Nggak terasa udah besar aja sekarang. Gimana kuliahnya? Lancar?"
Laras sendiri dulunya tetangga Aya, tetapi jarang bertemu karena Laras sekolah di luar kota. Sekarang Laras menikah dengan kakaknya Rudy, hidup enak dan tercukupi di kota.
"Alhamdulillah lancar, Mbak," jawab Aya.
"Syukurlah, nanti ke depannya kalau ada kesulitan bisa tanya-tanya sama Rudy. Lumayan, 'kan ada yang bantu." Laras melirik Rudy sekilas dan dibalas anggukan.
"Bisa, Mbak."
"Ya udah, kita pulang dulu, ya, Aya. Kalian bisa lanjut ngobrol kalau di kampus. Ayo masuk dulu."
Laras dan Aya berjalan dahulu, lalu Rudy mengekor di belakang. Rasanya kaki Aya begitu ringan, ia ingin segera mendengar penjelasan dari ayah.
"Kalau begitu kami pamit undur diri dulu, ya, Pak Gatra. Semoga hubungan ini bisa terjalin baik dan berjalan dengan lancar. Terus nanti kalau ada apa-apa, Pak Gatra bisa bilang sama saya, Pak." Laras berpamitan setelah duduk di sofa.
Perempuan murah senyum tersebut sepertinya sengaja menjadi juru bicara hari ini. Padahal ada ayah Rudy dan suaminya Laras, tapi keduanya hanya diam, sesekali menimpali dengan senyuman serta jawaban seperlunya.
"Amin, saya juga sebaliknya. Untuk tanggal pernikahannya bagaimana? Apa ditentukan dari sekarang juga?"
Hah? Gimana-gimana?
Kepala Aya sepenuhnya menghadap ke ayahnya, Pak Gatra. Namun, tak mungkin juga ia mengelak di depan para tamu. Sebisa mungkin ia mencoba tetap tenang.
"Kalau soal itu, mungkin bisa Pak Gatra saja yang menentukan. Kami ngikut saja." Hesti pun menimpali sambil terkekeh.
"Baik kalau maunya begitu. Nanti kami rundingkan dulu kapan tanggal baiknya," balas Gatra.
"Kami percaya sama Pak Gatra. Sekarang kami beneran pamit, Pak." Laras beranjak terlebih dulu dengan tawa renyah. "Takut jalanan macet," imbuhnya disusul yang lain ikut berdiri.
Pak Gatra ikut tertawa dan berdiri untuk mengantar tamunya pulang. Pun dengan Aya sambil menuntun ibunya, Cempaka.
"Terima kasih atas kunjungannya. Semoga perjalanannya lancar, ya," pesan Pak Gatra.
Rombongan Laras pun sudah pulang. Pak Gatra memanggil salah satu anak asuhnya agar membagikan makanan kepada yang lain.
"Ayah," panggil Aya ragu. Namun, lelaki paruh baya itu terlalu fokus dengan keributan anak-anak panti.
"Kamu mau protes atau senang dapat suami dosen sendiri?" Cempaka bertanya sembari meluruskan kaki di atas sofa. "Ayah kamu sudah yakin kalau Rudy bisa jaga dan rawat kamu, Nak. Kamu terima, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosenku, Lelakiku
RomanceSoraya tiba-tiba dikejutkan dengan lamaran dari seorang dosen di kampusnya. Tak butuh waktu lama, ia juga harus melangsungkan pernikahan karena Rudy tak bisa menunggu lebih lama lagi. Sedangkan sahabatnya, Anggi juga mengidolakan dosen muda itu. Ru...