d u a

259 32 4
                                        

"Kamu beneran udah yakin sama Aya, Nak? Mama liat keluarganya biasa aja, lak ora cocok golek liyane maneh," celetuk Hesti sambil menata makanan di atas meja makan.

Lelaki yang sudah berpakaian rapi untuk mengajar ke kampus menyunggingkan senyum. "Udah, Ma. Tanggal pernikahannya udah ditentukan masa mau dibatalin? Aku yakin sama pilihan Mbak Laras, Aya anaknya juga rajin, kok."

"Tapi gimana kata orang kalau kamu nikah sama anak pemilik panti? Mama ...."

Tangan Rudy menyentuh bahu Hesti sebelum ucapan wanita itu selesai. "Apa yang orang pikir, Ma? Dia anak pemilik panti, bukan anak panti. Jarang banget ada keluarga yang rela korbanin hidupnya buat ngasuh anak tanpa orang tua gitu, Ma. Aku yang nikah, aku yang jalani. Mama jangan ikut pusing," jelasnya, lalu mengisi piring dengan nasi goreng dan telur dadar.

"Menantu teman Mama kemarin ada yang punya mobil, Nak. Apik banget. Terus ada lagi yang punya perkebunan tebu puluhan hektare. Kalau kayak gitu udah pasti dijamin mereka kaya, to? Maksud Mama iki ...."

"Mama udah punya kebun teh, mau dibeliin kebun tebu juga? Biar Papa makin betah di kebun, nggak usah pulang sekalian," sahut Rudy sekenanya.

Masih tak mau kalah, Hesti terus berbicara sambil mengambilkan kerupuk dan menaruhnya di atas piring Rudy.

"Yo ora ngono, tapi paling nggak masa depan kalian terjamin."

"Mama yakin harta jadi kunci utama kebahagiaan? Semua nggak ada yang tahu, Ma. Udahlah, kalau pingin sesuatu, Mama bilang aja. Aku beliin. Soal Aya, aku udah nggak mau yang lain lagi. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum."

Rudy menyudahi sarapan lebih cepat dari biasanya. Ia menyalami tangan dan mencium pipi kanan Hesti sebelum meninggalkan rumah. Bukan karena ia sudah cinta sama Soraya sehingga lelaki itu bersikeras menolak Hesti untuk mencari perempuan lainnya. Namun, usaha untuk mendapat seseorang yang pas sangatlah sulit.

Akan tetapi, sejak pertemuan pertama melihat foto Soraya dari Laras, ia langsung merasa cocok dan diam-diam mulai mengamati gadis itu di kampus.

***

Rutinitas Aya setiap dua hari sekali adalah berbelanja sayuran ke pasar dengan anak pemilik asrama, Fahad. Seorang lelaki yang diam-diam berhasil mengisi hatinya. Keduanya kerap mencuri kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu bersama karena Fahad juga tak bisa memungkiri kalau ia juga jatuh cinta pada Aya.

Fahad mengamati wajah lesu Aya dari kaca spion. Biasanya gadis itu akan bercerita tentang apa pun sampai tiba di pasar, tapi lihatlah sekarang. Aya memeluknya erat sambil menyandarkan dagu di bahu Fahad dengan tatapan kosong lurus ke depan.

Perubahan itu sudah ia rasakan sejak kembalinya Aya dari rumah minggu lalu. Ia sempat bertanya, tapi Aya bilang kalau tidak ada masalah.

Motor matik yang lelaki itu kendarai berhenti di depan gerobak pecel Blitar, makanan kesukaan Aya. Akan tetapi, gadis itu masih bergeming dan membuat Fahad menyentuh tangan yang melingkar begitu erat di perutnya.

"Kenapa, Mas? Udah sampai, ya?" Aya langsung turun dari motor, lalu tersadar saat kaitan helmnya sudah terlepas. "Lho, ngapain kita ke sini? Ayo ke pasar dulu," tambahnya hendak naik ke motor lagi.

Namun, tangannya lebih dulu ditangkap oleh Fahad. "Kita sarapan dulu, habis itu ke pasar. Biar kamu juga bisa fokus."

"Tapi aku belum lapar, Mas. Nanti aja nyari sarapan di pasar. Keburu siang, nih," balas Aya yang kini berdiri di hadapan Fahad.

Manik hitam Fahad menatap lekat ke mata Aya sambil mengusap lembut tangan yang ada di genggaman.

"Aku mau dengar apa yang sedang kamu rasain. Apa pun itu. Aku nggak suka kalau kamu nyimpen sesuatu dari aku, Ay. Apa satu tahun bersama masih belum buat kamu yakin?"

Aya menelan saliva susah payah ketika Fahad menyadari semuanya, tapi bagaimana?

"Mungkin nggak sekarang, Mas. Aku belum siap," jawab Aya dengan suara pelan.

"Kapan? Sampai aku jadi orang terakhir yang tahu?" desak Fahad lembut.

"Tapi gimana sama belanjaannya, Mas? Nanti ditungguin sama ibu kamu."

Fahad menghela napas. "Masih buat besok, sekarang penjelasan kamu lebih penting."

Aya tampak bimbang, ia menunduk sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan mengangguk. "Tapi nggak di sini, nyari tempat lain aja."

Setelah mengitari jalanan beberapa menit, akhirnya Aya setuju untuk diajak berhenti di taman kota yang sepi karena tempat itu hanya akan ramai setiap akhir pekan. Mereka duduk di salah satu kursi taman yang masih menyisakan sedikit embun pagi.

"Aku dijodohin, Mas," kata Aya dalam satu tarikan napas.

Satu detik berlalu dan Fahad masih diam. "Kamu tolak, 'kan? Mana mungkin zaman sekarang masih pakai tradisi kayak gitu?" tanya lelaki itu dengan tatapan yakin pada Aya.

Gelengan lemah dari Aya membuat alis Fahad bertaut. "Nggak bisa, Mas. Bahkan tanggal pernikahan udah ditentuin. Aku tahu ini salah, tapi aku nggak mau pisah sama kamu, Mas."

Aya segera menghapus kristal hangat yang menetes di pipi agar tidak tertangkap oleh Fahad. Namun, nyatanya lelaki itu sedari tadi tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari Aya. Sampai gadis itu menutup wajah dengan kedua tangan untuk meredam suara isakan.

Tak peduli sedang berada di tempat umum, Fahad membawa tubuh lemah itu ke dalam dekapan. Ia yang masih sangat terkejut juga tidak tahu harus menenangkan gadis itu dengan cara seperti apa selain mengusap punggungnya lembut.

"Ssst, mungkin salah aku juga yang terlambat buat bilang serius ke orang tua kamu, Ay. Terus apa rencana kamu selanjutnya?"

Aya menarik diri dari dekapan kekasih. Ia menatap sendu sambil menggeleng pelan, tak ada satu pun cara terlintas untuk menghindar perjodohan tersebut.

"Aku ada cara, tapi aku ragu kalau kamu akan setuju," ujar Fahad sambil menangkup wajah Aya.

"Apa?" lirih Aya.

"Hamil." Satu kata itu cukup mengejutkan Aya. "Cuma dengan cara itu perjodohan kamu bisa gagal, Ay."

"Tapi, Mas." Aya tak bisa berkata-kata. Ia malah kembali menangis karena tak menyangka Fahad akan berkata demikian.

Kedua pasang mereka saling beradu dengan perasaan ingin dan tidak. "Kamu percaya sama aku, 'kan? Kita juga udah jalani hubungan satu tahun lebih, Ay. Harusnya kamu nggak perlu ragu lagi."

Bukan hubungannya dengan Fahad yang ia ragukan, tetapi bagaimana reaksi orang-orang di luar sana jika Aya melakukan hal tersebut.

Aya cinta dengan Fahad, sangat, tapi ajakan lelaki itu seketika membuat pikiran gadis itu dipenuhi oleh pertanyaan tentang Fahad.

Kecupan singkat di bibir Aya menyadarkan gadis itu dari lamunan. Ia mengerjap sebelum kembali menatap dalam ke manik hitam milik kekasihnya tersebut.

"Kamu mau, 'kan?" tanya Fahad dengan jarak begitu dekat dengan Aya.

Gadis itu menggenggam tangan Fahad, sebelum menjawabnya.

Gadis itu menggenggam tangan Fahad, sebelum menjawabnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dosenku, LelakikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang