Soraya tiba-tiba dikejutkan dengan lamaran dari seorang dosen di kampusnya. Tak butuh waktu lama, ia juga harus melangsungkan pernikahan karena Rudy tak bisa menunggu lebih lama lagi. Sedangkan sahabatnya, Anggi juga mengidolakan dosen muda itu.
Ru...
"Kenapa semua bajuku dimasukin koper lagi, Mas? Baru juga semalam aku taruh di lemari." Aya yang duduk di atas tempat tidur hanya memandangi apa yang suaminya lakukan. Mondar-mandir untuk merapikan semua barang miliknya, termasuk alat kosmetik.
"Honeymoon. Kamu tenang aja, biar aku yang beresin," jawab Rudy yang kini jadi murah senyum pada Aya.
"Ke mana? Berapa hari? Emang di rumah kurang apa, Mas? Terus kuliah aku gimana?"
"Liat aja nanti." Rudy mengerjapkan sebelah matanya, genit. "Jelas kurangnya, kamu minta udahan terus kalau di rumah," lanjutnya yang kini merapikan barang-barang miliknya.
Soraya menghela napas pelan. Kalau tidak ingat dosa menolak ajakan suami, pasti ia sudah melakukannya dari awal. Tampaknya Rudy juga sudah sangat menginginkan seorang anak karena setiap hari selalu melayangkan aksinya.
"Kuliah kamu bisa diatur, yang penting projek awal kita buat bikin bayi harus sukses dulu."
Bener, 'kan? Projek katanya? Bahu Aya seketika lemas, meski sebenarnya ia juga penasaran dengan rasanya hamil. Namun, mengingat masa kuliahnya masih panjang, ia pun jadi ragu.
"Kamu siap-siap, gih. Aku bawa kopernya ke mobil dulu." Rudy meninggalkan Aya di dalam kamar. Bukannya melakukan perintah suami, perempuan itu malah merebahkan dirinya di kasur. Suasana sore memang sangat pas untuk bermalas-malasan.
Saat melintas ruang keluarga, ada Hesti dan suaminya tengah membahas hasil panen kebun teh. Rudy tetap melanjutkan langkahnya ke mobil karena sudah mengatakan keinginan hari ini.
"Kamu beneran mau pindahan sekarang, Rud? Nggak nunggu sampai selapan?" Hesti bertanya saat putra keduanya tersebut kembali dari luar.
Mau tak mau, Rudy ikut duduk bersama kedua orang tuanya. "Iya, Ma. Udah nggak sabar aku tinggal di sana," jawabnya.
"Nggak perlu syukuran lagi, Rud?" tanya ayah Rudy.
Lelaki berkulit putih itu menggeleng. "Dulu udah, Pa. Sekarang tinggal tidur aja, nggak apa-apa, 'kan?"
"Kali aja mau ngundang teman-teman dosen kamu lagi, kalau mau biar Papa pesenin dari sini, mumpung habis panen, nih," kata lelaki paruh baya yang sering menghabiskan waktunya di kebun. Akan tetapi, ucapan tersebut langsung mendapat lirikan tajam dari Hesti.
"Nggak usah, Pa. Kemarin mereka juga baru ke sini, keenakan mereka nanti," ujar Rudy yang sudah paham dengan tatapan mama tersayangnya tersebut. Padahal siapa yang membelikan kebun itu?
"Iya, kapan-kapan lagi kalau mau bikin acara besar. Mama juga masih capek. Terus, Rud. Nanti jangan lupa jatah bulanan Mama, ya. Jangan mentang-mentang udah punya istri, kamu lupa sama kewajiban kamu," tutur Hesti. Lelaki di sampingnya sampai geleng-geleng kepala karena uang darinya juga tidak pernah kurang.
"Iya, Ma. Aku mau lanjut ngangkut barang-barang lagi, Ma, Pa," pamit Rudy dan bergegas berdiri.
"Ma, biarin Rudy fokus sama istrinya aja. Uang dari aku juga udah banyak. Masa masih kurang aja?" tanya sang suami yang selalu heran dengan sikap Hesti.
"Biarin, lah, Pa. Dulu siapa juga yang biayain dia kuliah kalau bukan kita? Cuma dikit, Pa. Mama mau nyiapin makanan biar Rudy bawa dulu."
Perempuan dengan uang segepok itu ikut berlalu dari ruang keluarga. Setelah menyimpan uangnya di tempat yang aman, Hesti ke dapur untuk menyiapkan apa saja yang bisa ia bawakan buat putra kesayangannya.
***
Soraya sudah enggan bertanya ke mana tujuan mereka karena jawaban Rudy sepertinya tak bisa dipercaya. Jadi, yang ia lakukan hanya diam di kursi penumpang sambil menyimpan penasaran ke mana mobil yang ka naiki akan berhenti. Lebih penasaran lagi, arah tujuan mereka kembali ke Malang.
Awalnya perempuan itu pikir kalau Rudy bakal menuju bandara atau stasiun karena menurut kata lelaki itu tadi bahwa mereka akan pergi bulan madu, tetapi semakin dekat jalanan yang mereka lalui sama persis dengan arah jalan ke kampus.
"Mas mau ke kampus dulu, ya?" tanya Aya dengan pertanyaan berbeda dari sebelumnya.
Rudy terkekeh, lalu menjawab. "Nggak, ngapain malam-malam gini ke kampus?"
"Ini jalannya kayak mau ke kampus." Aya menunjuk jalanan di depannya sambil menatap bingung ke samping.
"Kamu mau makan malam di mana? Mumpung masih di luar, kalau sudah sampai malas lagi yang keluar." Mengabaikan ucapan istrinya, Rudy malah memberikan pertanyaan lain.
Aya tidak langsung menjawab, teringat bahwa kawasan Malang adalah tempat teman-temannya tinggal. Sudah pasti malam hari seperti ini mereka ada di mana-mana.
"Makan di tempat tujuan yang kamu maksud aja, Mas. Aku takut ketemu sama temen-temen," ucap jujur Aya.
Tangan Rudy beralih dari setir mobil dan berakhir di puncak kepala Aya. "Takut kenapa? Kamu malu karena nikah sama aku? Tapi, ya nggak apa-apa, sih. Mungkin kamu butuh waktu. Tapi belinya sekalian sekarang aja, ya? Kamu pingin makan apa? Biar aku aja yang turun."
Seulas senyum masam Aya berikan pada Rudy. Ia menyerahkan menu makan malam kali ini pada Rudy, sudah terlalu malas berpikir karena merasa tak enak hati dengan pertanyaan suaminya.
Setelah menempuh jarak lima menit dari tempat Rudy membeli makan, mobil yang mereka akhirnya berhenti di sebuah bangunan kecil, tapi tampak begitu mewah. Rudy langsung memarkirkan kendaraan roda empat di halaman yang atasnya dipasangi kanopi.
"Ini vila siapa?" Aya bertanya sembari menatap takjub dengan bangunan di hadapannya.
"Vila?" Rudy mengulang kata Aya sambil tergelak. "Ini rumah aku, rumah kamu juga. Ayo turun."
"Heh? Bohong kali, tuh, Om-om," gumam Aya saat Rudy sudah turun dari mobil. Aya pun menyusul tanpa berhenti mengamati sekeliling.
"Selamat malam, Pak. Selamat datang juga, Bu Aya," sapa seorang laki-laki yang tampaknya masih muda, tapi sudah memiliki kumis tipis.
"Hai juga," balas Aya kikuk.
"Kenalin, dia Wahyu yang jagain rumah dan toko pulsa sekalian." Rudy memperkenalkan lelaki yang menyapa Aya barusan.
"Toko pulsanya milik siapa? Milik kamu juga, Mas?" Aya masih belum sepenuhnya percaya dengan semua ucapan suaminya.
"Iya, dong, Bu. Bapak ini sudah sukses sejak kuliah dulu, saya ini kalau nggak ada Bapak masih kelayapan di jalanan. Dulu saya juga sempat ditawarin lanjutin sekolah, tapi saya nggak mau. Mending habisin waktu buat ngabdi sama Bapak aja," jelas Wahyu yang memang mudah akrab dengan orang lain.
"Kamu bisa aja melebih-lebihkan, Yu. Ini tadi saya beli makanan di tempat langganan, kamu makan dulu habis itu tolong angkatin koper saya ke dalam, ya." Rudy memberikan satu kotak makan beserta minuman kepada Wahyu sebelum mengajak Aya yang masih bingung dan heran masuk ke dalam rumah.
"Selamat datang di rumah kita, Sayang." Rudy memberi sambutan saat Aya sudah sampai di dalam rumah. "Kita makan dulu, habis itu langsung mulai sesi honeymoon."
"Masss!"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.