Soraya tiba-tiba dikejutkan dengan lamaran dari seorang dosen di kampusnya. Tak butuh waktu lama, ia juga harus melangsungkan pernikahan karena Rudy tak bisa menunggu lebih lama lagi. Sedangkan sahabatnya, Anggi juga mengidolakan dosen muda itu.
Ru...
Senyum yang biasanya terlukis di wajah Rudy, pagi ini harus redup karena Aya masih saja menolak berangkat bersamanya ke kampus. Belum lagi sampai kampus ia masih dihadang oleh perempuan dengan lipstik yang sangat mencolok.
"Selamat pagi, Pak Rudy. Bagaimana tidurnya semalam? Nyenyak?" sapa Heni. Ia baru saja keluar dari mobil, sepertinya memang sengaja menunggu kedatangan lelaki tersebut.
"Pagi, Bu. Baik, sangat nyenyak malah," balas Rudy seadanya. Ia mencoba melangkah agak lebar agar tidak beriringan dengan perempuan yang sudah lama mengejarnya itu.
Namun, bukan Heni kalau tidak bisa menjadikan mereka pusat tontonan. Ia masih mengejar dan berusaha menyamai langkah Rudy saat ia memakai rok sepan.
"Pak Rudy sudah sarapan? Kebetulan tadi saya bikin bekal lebih, mau sarapan bareng, Pak?" Pemilik wajah putih karena make-up yang teramat tebal itu semakin membuat pagi Rudy buruk.
"Maaf, Bu. Tapi tadi saya sudah sarapan, ini masih kenyang. Saya permisi ke ruangan dulu, Bu," ucap Rudy teramat hati-hati.
"Saya temani, Pak."
Rudy membuang napas pelan sambil mengeluh di dalam hati. Ia sangat berharap kalau sifat istrinya seperti perempuan di sampingnya itu. Mau tidak mau, ia membiarkan Heni mengikutinya dengan langkah pontang-panting.
"Tuh, tuh, lihat. Udah tahu punya bini masih aja dikejar. Ini istrinya yang lempeng atau ikhlas suaminya digoda cewek lain, ya?" Anggi yang berada di pinggir danau bersama Aya bisa menangkap kekesalan di wajah Rudy atas ulah Heni.
"Mungkin istrinya tipe yang nggak terlalu peduli sama suaminya. Cuek aja mau Pak Rudy digoda sama siapa. Karena konsekuensinya dari awal udah tahu kalau Pak Rudy adalah dosen terkenal di kampus," jawab Aya selaku istri Rudy secara privat.
Anggi berdecap. "Kalau aku yang jadi bininya udah aku santet online itu si dosen. Bodo amat dia yang ngajar aku. Salah sendiri berani ganggu suami orang."
Perempuan di sampingnya terkekeh sambil menggeleng. "Dan untungnya aja bukan kamu istrinya. Pacar aja nggak ada, gimana mau punya saingan?" sindir Aya agar cepat move on dari semua dilema tentang Rudy.
"Ih, kamu, Sor. Sabarlah, nggak bakal lama juga aku punya gandengan. Cuma mau mastiin yang bener-bener tulus sama aku, bukan asal jadi rest area doang."
"Iya, ya. Aku bantu nilai yang perfect buat kamu. Jangan sampai kayak cowok karung, bermuka tampan, tapi hatinya bangkai."
***
Aya berjalan tergesa-gesa setelah meminta izin pulang pada dosen di tengah-tengah pelajaran dengan alasan orang tua sedang sakit. Untung saja yang mengajar bukan dosen yang killer, jadi ia tidak akan bisa meninggalkan kelas dengan mudah.
"Hampir aja aku panggil kamu ke kelas kalau kamu nggak buka hp. Kita langsung pulang aja, ya." Rudy langsung membukakan pintu mobil untuk Aya saat perempuan itu sudah tiba di parkiran.
"Iya, Mas. Maaf, aku terbiasa silent ponsel kalo di kelas, untungnya tadi Anggi liat layarnya nyala pas Mas telepon. Terus gimana keadaan Mama sekarang? Di rumah atau rumah sakit?"
Kendaraan roda empat itu sudah melesat meninggalkan halaman kampus ternama di kota Malang. Rudy menatap serius pada jalanan untuk selalu waspada.
"Di rumah, tapi Mas Agung tadi tetap nyuruh aku pulang," jawab Rudy setelah mendapati jalanan agak sepi.
Aya sedikit ketakutan melihat cara berkendara Rudy dalam keadaan penting seperti ini. Ia tanpa sengaja mencengkeram sabuk pengaman yang menyilang di dadanya. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah diam sambil berdzikir dalam hati agar selalu diberi keselamatan.
Sesampainya di kediaman orang tua Rudy, lelaki itu langsung berlari ke dalam rumah tanpa menunggu Aya seperti kedatangannya saat menjadi pengantin dulu. Aya cukup memahami karena mama sedang sakit dan menyusul langkah suaminya.
"Gimana keadaan Mama? Apa kita pergi ke rumah sakit sekarang?" tanya Rudy setelah menyalami dan duduk di samping mamanya. Mas Agung yang sejak tadi duduk di sana keluar untuk memberi ruang pada Rudy dan istrinya.
"Nggak usah, Mama cuma kecapean aja. Lihat kamu pulang juga udah mendingan, kok," kata Hesti yang meredakan rasa khawatir Rudy. "Kamu sudah makan? Kalau belum, kamu makan dulu sekalian ajak istri kamu," lanjutnya.
"Nanti aja, Ma. Aku mau jagain Mama dulu, Mama butuh sesuatu? Atau mau aku beliin makanan di luar?" tawar Rudy.
"Nanti aja cariin singkong keju. Sekarang kamu di sini aja."
Keduanya menjaga Hesti sambil mendengarkan gosip terbaru yang ia dengar selama Rudy sudah pindah ke Malang. Aya yang merupakan orang baru di sana hanya bisa menyimak. Sampai perempuan paruh baya tersebut terlelap baru Rudy mengajak Aya istirahat ke kamar.
Hari ini bukan hanya Rudy yang pulang cepat, Mbak Laras yang biasanya pulang malam juga sudah tiba di rumah sore hari. Tiba di rumah, ia segera mandi sebelum menemui Hesti.
"Mbak Laras sebenarnya mau kalian tinggal di sini buat jagain Mama. Mbak Laras sama Mas Agung sendiri juga sibuk sama pekerjaan masing-masing, jadi nggak bisa buat selalu ada di rumah. Kalau Aya masih bisa fokus di rumah sepulang kuliah, bisa bersih-bersih dan sekalian jaga Mama di rumah. Tapi kalau kalian udah pindah, ya mau gimana lagi," ungkap Mbak Laras saat semua berkumpul di rumah Hesti.
Aya masih mencoba memahami ucapan Hesti, tapi sedikit banyak beberapa kalimat itu melukai hati kecilnya. Dilihat dari segi umur, memang Aya masih muda dan menjadi seorang istri bukan pilihannya sendiri. Namun, untuk memahami orang lain, ia tidak terlalu bodoh.
Kalau tahu apa yang akan adik iparnya lakukan, kenapa tidak mencari perempuan yang memang pengangguran dan tidak memiliki kesibukan apa pun? Kalau seperti ini, tidak mungkin juga Aya meninggalkan kuliah dengan biaya yang ia dapat dari beasiswa.
"Kalau gitu, Mama ikut aku pindah aja ke Malang kalau mau selalu sama aku. Karena nggak mungkin juga aku tiap hari bolak-balik dari sini ke Malang. Capek di jalan." Rudy angkat suara saat lidah Aya kelu dengan dada bergemuruh.
"Ya, Mbak paham. Tapi kalau Mama tiba-tiba sakit dan nggak ada orang di rumah gimana? Mama udah tua, udah harusnya selalu diawasi." Sesama memiliki sikap keras kepala, Laras masih menguatkan pendapatnya.
Rudy langsung menoleh pada satu-satunya orang yang bisa ia harapkan. "Pa, nggak usah ke kebun lagi. Nanti cariin orang aja, biar aku yang bayar. Papa di rumah aja jagain Mama."
"Papa ke kebun juga jarang-jarang, biar Papa yang jagain Mama," bela Baskoro.
Hesti berdecak, lalu berkata, "Iya jarang, tapi sering nongkrong nggak jelas sama teman-temannya. Mama denger dari orang, mata Mama itu banyak, ya, Pa."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.