l i m a

199 27 2
                                    

Hari masih gelap untuk seorang Aya yang biasanya berkutat di dapur ingin bertamu ke rumah Anggi. Jadi, yang ia lakukan hanya berdiam diri sambil meluruskan kaki di taman dempo sampai ada tanda kehidupan di bangunan yang tepat berada di hadapannya.

Pesan dari Fahad semalam sudah menjelaskan bahwa lelaki itu memang sudah membuangnya. Ia tidak bisa menunggu Aya terlalu lama lagi. Ada kelegaan saat ia mengetahui sifat Fahad lebih awal, tapi rasa kecewa dan sakit hatilah yang paling ia rasakan.

Perempuan itu kembali menghela napas untuk meredakan sesak yang menumpuk di dada. Memang semalaman ia bisa tidur, tapi harus terjaga tengah malam dengan kepala pening dan mata bengkak. Ditambah pernyataan Fahad yang bilang bahwa hubungan mereka sudah berakhir.

Mata Aya menoleh sebentar pada jendela sebuah kamar yang dibuka. Kemudian, tangannya bergerak membuka ponsel dan menelepon nomor temannya.

"Halo, Sor? Tumben pagi-pagi udah nelepon? Ada apa gerangan?" sapa Anggi dengan suara khas endelnya.

"Kamu udah sholat?"

"Udah, dong. Kan, calon Mas Rudy harus rajin ibadah, biar jadi mantu idaman. Ada apa? Ada apa? Ada gosip baru, kah?"

Aya tersenyum masam saat Anggi masih mengidamkan calon suaminya, tapi bukan itu yang penting sekarang.

"Aku di depan rumah kamu sejak subuh tadi."

"Serius? Ngapain?" Anggi melongok dari jendela untuk mencari keberadaan Aya. "Bentar, aku ke bawah dulu."

Aya menggenggam ponselnya kembali setelah melambai pada Anggi dan perempuan itu langsung mematikan sambungan. Berada di perantauan membuatnya tak memiliki banyak tempat untuk melepas penat. Biasanya tempat-tempat yang sepi selalu ia datangi di saat-saat seperti ini, tapi entah mengapa langkahnya pagi tadi membawanya ke rumah Anggi.

"Astaga, Sor. Ngapain kamu kayak orang ilang di sini? Kenapa nggak nelepon dari tadi, sih?" Anggi datang dan langsung mengomeli Aya. Tangannya juga cekatan membuka kaca mata hitam yang Aya kenakan. "NAH! INI KENAPA LAGI MATANYA ABOH GINI? Ayo masuk dulu!" ajaknya sambil menarik tangan Aya.

Anggi langsung mendudukkan Aya di ruang tamu, lalu beranjak ke dapur untuk mengambilkan minuman.

"Minum dulu, Sor," kata Anggi. "Mau istirahat di kamar atau di sini aja?" sambungnya.

"Kayaknya enak di kamar kamu, tapi aku udah capek mau naik," jawab Aya sambil menunjukkan deretan giginya.

"Ya, udah. Di sini aja dulu, mau aku ambilin sarapan sekalian?" Anggi menawarkan hal lain, ia akan menunggu Aya bercerita dengan sendirinya.

"Emang udah matang?" Aya balik bertanya dan langsung dibalas Anggi dengan tawa.

"Ya, belum. Tapi kalau kamu mau sarapan aku ambilin roti aja," jawab Anggi disambung tawa lagi.

Aya menggeleng pelan. "Nanti aja, Gi. Aku mau numpang mandi dulu sekarang. Gerah banget jalan dari asrama ke sini."

"KAMU JALAN KAKI?" Suara Anggi tanpa sadar meninggi dengan mata melebar. "Kamu ingat kalau jaraknya hampir lima kilo meter, 'kan? Jangan bilang kamu juga belum gosok gigi," imbuhnya dengan jari telunjuk menunjuk ke bibir Aya.

"Mandi aja belum, apalagi gosok gigi. Maka ...."

Anggi memotong ucapan Aya, lalu menarik ujung baju temannya dan membawanya ke kamar. "Udah, udah. Nanti aja kalau mau ngomong lagi. Sekarang kamu mandi dan ganti baju yang bersih dulu."

***

Setelah drama pagi tadi, sekarang di kampus Aya menjadi sorotan banyak pasang mata karena penampilannya tak seperti hari biasanya. Pakaian ketat dengan riasan yang sedikit berlebihan karena untuk menutupi mata sembab.

"Kayaknya mulai besok kamu dandan kayak gini aja, Sor. Lumayan dari tadi banyak yang ngelirik kamu," kata Anggi puas saat mereka tiba di kantin.

Aya mendengkus sebal. "Makasih, yang ada aku risih pakai pakaian kamu yang press body gini, Gi. Lain waktu kamu siapin baju yang gedean, jaga-jaga pas aku kabur kayak hari ini."

"Nggak ngarep lagi aku liat kamu berantakan kayak tadi. Mana aku yang kena interogasi Ibu Nur, huh."

Ya, setelah merubah penampilan dan mengisi perut di rumah Anggi, Aya terpaksa kembali ke asrama untuk mengambil laptop dan tugas makalah yang untungnya sudah ia selesaikan sebelumnya. Andai ia kerjakan kemarin, pasti isinya akan sangat kacau.

"Aku putus, Gi. Semalam aku liat Fahad ciuman sama Nadia di dapur," ucap Aya setelah menarik napas panjang.

"Nadia anak Ekonomi? Serius? Wajahnya kalem gitu, Sor," bantah Anggi dengan wajah terkejut.

Aya selalu geram dengan suara Anggi yang sulit untuk dikendalikan. "Ssst, jangan keras-keras juga. Nadia yang seasrama sama aku, ya cuma dia."

"Terus gimana? Kamu apain mereka, Sor? Kamu lempar sama pisau atau ulekan batu nggak?" Anggi menunggu jawaban Aya dengan semangat menggebu.

Namun, gelengan dari Aya langsung mendapat tatapan protes. "Aku lari ke kamar. Berasa kayak liat hantu, Gi. Ngeri."

"Nggak keren banget, sih. Apa perlu aku yang garap Nadia di kampus? Mumpung masih panas, 'kan?"

"Jangan macem-macem," gertak Aya kalem. "Putus, ya putus. Nggak mau peduli lagi sama mereka."

Mata Anggi memicing. "Beneran? Terus ngapain semalaman nangis bombai sampai mata sebesar gajah gitu?"

"Maklumin, lah. Buat ngelepas seseorang yang disayang juga butuh pengorbanan kali. Tapi untuk bicara sama mereka, nggak perlu banget."

Sakit memang, tapi rasanya tak adil jika hanya Aya yang menyiksa batinnya sendiri. Ia memang sangat sayang pada Fahad, tapi pikiran untuk mengemis lelaki itu untuk kembali tak pernah terlintas.

Ia malah bersyukur karena dengan begini ia tak sampai menjadi korban yang mungkin akan ditinggalkan begitu saja. Satu pelajaran yang amat ia dapati adalah Nadia. Mahasiswi rajin, cantik, dan pendiam nyatanya tak bisa dijadikan sebagai patokan bahwa perempuan itu baik-baik.

"Jadi ikutin aja saran aku buat ngerubah penampilan kamu. Biar segera dapat pengganti lelaki sialan itu."

Aya tersenyum sambil menggeleng mendengar kata-kata yang keluar dari bibir mungil Anggi. Masalah Fahad sudah usai, kini satu-satunya masalah besar yang harus ia pikirkan adalah bagaimana mengatakan pada Anggi kalau dia akan menikah minggu depan.

Kemudian lelaki yang akan sah menjadi suaminya itu merupakan orang yang sangat diidamkan Anggi. Sungguh, Aya tak memiliki keberanian untuk mengatakan hal tersebut.

Entah bagaimana Anggi akan tahu status mereka nantinya. Sekarang yang terpenting Anggi selalu ada di sisinya. Selalu menjadi penghibur saat dia terkurung masalah. Anggi adalah perempuan yang memiliki dunianya sendiri. Bukan sepertinya yang selalu berpikir seribu kali untuk memutuskan melakukan sesuatu.

Aya hanya membeli kebutuhan yang sangat ia perlukan. Pakaian juga hanya seadanya, palingan ia ganti pasangan antara atasan dan bawahan jika sudah teramat sering dipakai. Bukan Anggi yang bisa setiap hari berganti pakaian saat ke kampus.

 Bukan Anggi yang bisa setiap hari berganti pakaian saat ke kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dosenku, LelakikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang