t i g a

234 33 2
                                        

Kegalauan Aya kian menumpuk setelah pertanyaan dari Fahad kemarin lusa yang belum juga bisa ia jawab. Ditambah hari pernikahan pula kian mendekat. Rasanya ia bersembunyi saja di balik selimut tanpa bertemu siapa pun.

"SORAYA!" Lengkingan suara dari depan sana akhirnya membangunkan pikiran Aya yang tertidur. "Kalau kamu tidak bisa fokus dengan mata kuliah saya, kamu boleh tunggu keluar sampai kelas selesai."

"Baik, Bu."

Rahang Anggi seolah terlepas dari tempatnya saat jawaban itu yang keluar dari bibir Aya. Selama ini perempuan itu hampir tak pernah mengabaikan kelas, bahkan sampai meninggalkan kelas seperti sekarang.

Bu Heni, dosen muda yang terkenal killer di depan sana tak peduli dengan Aya yang sudah meninggalkan kelas. Apalagi Heni juga tahu kalau Aya adalah calon Mas Rudy-nya. Sekalian saja.

Soraya menghempaskan pantatnya di atas kursi semen yang berada di bawah pohon cemara kipas. Helaan napas berat dan panjang pun ikut meluncur dari bibirnya. Ia butuh waktu serta tempat untuk menenangkan pikiran.

"Buntu banget otak gue. Mau kabur nanti malah jadi malin kundang. Hadehhh."

Dengan malas, ia membuka ponsel karena ada pesan yang masuk. Dari sang calon suami.

"Ngapain duduk di taman sendiri? Udah nggak ada kelas lagi? Mau pergi sekarang?"

Perempuan itu celingukan mencari keberadaan lelaki tersebut, tetapi tak menemukan eksistensinya di sudut mana pun.

"Aku lagi di ruangan. Mau istirahat di sini?" Pesan susulan langsung masuk.

"Nggak, Mas. Saya di sini aja," balas Aya, lalu menyimpan ponselnya kembali.

Getaran  terasa berulang-ulang saat Aya sangat enggan merespons kalau tahu itu dari Rudy. Namun, karena merasa tak sopan, ia pun membukanya perlahan.

"Ya udah, kita fiting baju sekarang aja. Biar aku kabari Mbak Laras."

"Aku tunggu di parkiran, ya."

"Atau mau ke parkiran bareng?"

"Hih, ngawur aja ini om-om," gerutu Aya saat membaca pesan terakhir. "Mas tunggu di parkiran aja, saya ke sana sendiri," balasnya dan segera beranjak sebelum lelaki itu muncul di hadapannya.

Langkah perempuan itu berhenti saat berada di parkiran khusus dosen. Ia hanya ingat kalau mobil Rudy berwarna putih, sedangkan warna putih di sana tidak hanya satu, bahkan ada lima.

"Maaf, Mas. Mobilnya yang mana? Plat nomornya berapa?" Daripada menunggu terlalu lama dan bertemu dengan orang lain, Aya segera mengirimkan pesan singkat tersebut alih-alih menelepon.

Pandangannya terbagi dengan sekitar dan layar ponsel. Persis seperti maling yang siap akan melakukan aksinya. Pesan itu sudah dibaca oleh Rudy, tapi tak ada tanda lelaki itu sedang mengetik. Tak berselang lama, terdengar suara dengung mesin mobil dan klakson dari mobil yang ada di sisi kiri Aya.

Tungkai perempuan itu bergegas menuju ke mobil tersebut sambil memastikan siapa yang berada di balik kemudi.

"Selamat siang, Pak. Eh, Mas," sapa Aya sembari masuk ke dalam mobil dengan tergesa.

"Siang juga, Aya. Kita langsung ke salonnya aja, ya. Mbak Laras nggak bisa ikut karena pabriknya lagi rame. Berdua aja nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak apa-apa, Mas. Di sana juga banyak orang, 'kan?"

"Baiklah." Akhirnya kendaraan roda empat tersebut mulai meninggalkan halaman kampus.

Karena mereka pergi di saat jam efektif, jadi hanya sedikit mahasiswa yang berkeliaran. Namun, Aya tetap menurunkan badannya saat mobil Rudy melewati beberapa orang.

Dosenku, LelakikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang