Jeno benar-benar tak tahu harus membalas dengan kalimat apa saat Haechan menceramahinya dengan berbagai kata umpatan. Di dinding jam sudah menujukan pukul delapan malam, namun pemuda itu masih terus berbicara tanpa merasa kelelahan sedikit pun.
"Kalo gue jadi Darrel udah gue tinggalin lo. Biar lo jadi jomblo abadi sekalian!" Haechan mengakhiri kalimatnya dengan meminum rakus air dari botol minum yang sering dirinya bawa ke sekolah.
Jeno bernafas lega. Akhirnya, sesi ceramah dari Haechan sampai epilog juga. Walaupun masih menatap tajam Jeno namun itu tak penting. Yang terpenting adalah telinganya yang terbebas dari ocehan panjang kali lebar Haechan.
"Lo dengerin gue gak sih?!" Haechan berujar kesal pada sosok di depannya yang malah mengangguk-anguk saja sedari tadi.
"Iya."
"Poin pentingnya apa yang lo dapet?"
Jeno terlihat berpikir. Haechan mendengkus, jadi dari tadi dia ngoceh sampai tenggorokannya sakit sama sekali tak pemuda bego itu resapi?
"Gue harus berubah, jangan gajelas seperti kata lo."
Memang itu salah satu point pentingnya. Namun jawaban itu tak membuat Haechan puas.
"Coba buka hati lo buat Darrel. Kalian hebat loh bisa berhubungan selama itu, walaupun lo freak banget ngejalaninnya."
Jeno mendengkus. "Lo gak paham gue."
"Atuh yaudah lo kasih paham. Lo jelasin kondisi lo ke Darrel. Kasian tuh anak, lo gantungin mulu perasaannya."
Haechan beranjak ke arah kursi belajar. Jeno masih diam di tempat tidur Haechan. "Lo ajak jalan kek sekali-kali tuh pacar lo. Ih!! Gemes gue sama lo!!"
"Gue takut." Dari semua kalimat yang menggantung di tenggorokan Jeno hanya 2 kata ini yang berhasil terlontar untuk mendapat pembelaan.
"Apaan sih yang lo taku—"
"Gue takut cinta itu ngebuat gue sakit."
Kenangan pahit tentang keluarganya membuatnya sedikit ragu akan yang namanya cinta. Yang Jeno tahu cinta hanya bahan ajang permainan yang bisa menyakiti kapan saja.
"Tapi disini lo yang bikin cinta lo sakit, Jovan."
Jeno menoleh pada jendela kamar Haechan, memandangi langit malam yang menunjukkan gemerlip bintang di sana. Matanya memejam sesaat. Helaan nafas terdengar, lalu kepalanya menengok pada Haechan yang menatapnya sayup.
"Gue tau."
---
Nakyung menatap pemuda di depannya jengah. Matanya bergulir pada ponsel yang sedari tadi berdering. Merasa cukup kesal, ia pukul pantat lelaki yang dengan santainya menonton film di leptopnya.
"Apasoh, Nala?!" Rutuk Renjun kesal. Mulutnya yang penuh dengan kue itu membuat dirinya kesusahan saat mengomeli Nakyung.
"Hp lo bunyi anjir dari tadi!" Geram Nakyung kesal.
Memang tadi Renjun tak langsung pulang ke rumahnya. Pemuda manis itu lebih memilih pergi ke rumah Nakyung, teman semasa SMP nya yang memang jarak rumahnya tak jauh dari sekolah. Bisa di bilang mereka cukup lengket semasa SMP dulu. Dimana ada Renjun disitu pasti ada Nakyung. Sampai-sampai ada yang beramggapan bahwa mereka berdua berpacaran. Padahal Nakyung sendiri tahu, kalau Renjun nggak suka perempuan. Itu Renjun sendiri yang bilang saat Nakyung mengajak berteman.
"Ayo temenan!"
"Gue homo."
Rasanya Nakyung ingin tertawa saja saat mengingat kejadian itu. Tanpa dia sadari senyumnya sedikit mengembang saat melihat Renjun yang menyebikkan bibirnya kesal di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED
Fanfiction『NoRen』 "Karena ini takdir." -Jeno Dom! -Renjun Sub! warn! BXB, Incest, Missgendering, kata kasar, Mature content (Mature di sini bukan karena banyak adegan tak senonohnya. Disini banyak terdapat kata-kata kasar menjurus ke vulgar.) ©. edsvfe