Putusnya Mimpi

9 3 0
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

"Ria, tolong masukkan kue-kue ini ke keranjang sepeda Ibu, ya. Ibu mau sholat subuh dulu."

Langit masih sedikit gelap karena sebentar lagi rona kemerahan di atas langit akan segera menampakkan wujudnya. Suasana malam menjelang fajar seperti ini masih agak dingin.

Wanita paruh baya yang mengenakan daster panjang serta jilbab warna hitam itu sedikit meninggikan vokalnya di kala gadis yang dipanggil 'Ria' tak kunjung keluar. "Nak, kamu belum bangun juga?" tanyanya dengan logat Jawa yang kental.

Selang beberapa menit, gadis yang dipanggil akhirnya keluar. Lengkap dengan pakaian putih abu-abu di tubuhnya. "Maaf, Bu, tadi Ria lagi nyari buku."

"Kamu ini, Ri. Makanya jangan ditaruh sembarangan. Tapi sudah ketemu?"

"Sudah kok, Bu," kata Ria dengan cengiran tipisnya.

"Ya sudah, cepat masukkan kue-kue ini."

Ria mengangguk dan langsung melakukan apa yang dikatakan Ibu. Memang sudah rutinitasnya berjualan kue sebelum berangkat sekolah. Itulah mengapa subuh-subuh seperti ini Ria sudah siap dengan seragam sekolahnya.

Menaiki sepeda yang sudah tua dan nampak berkarat, Ria berangkat menuju pasar. Berangkat dengan harapan kue-kue ini akan laris. Tentu, sebelum itu, ia berpamitan pada Ibu.

"Ibu, Ria berangkat dulu, ya!" teriaknya dari luar.

Tidak ada jawaban. Mungkin Ibu tengah sholat, pikir Ria.

˵▾˵˵▾˵˵▾˵


"Ria, lo udah denger belom?" Cowok dengan rambut belah dua berlari kecil menghampiri Ria yang saat ini tengah berada di kantin.

Ria mengurungkan niatnya untuk menyuapi mulutnya dengan satu sendok pentol. Dia menatap cowok yang 3 tahun terakhir ini menjadi teman akrabnya. "Tahu apa, Rafli? Kamu kalau ngomong jangan setengah-setengah."

Sementara cowok yang diketahui bernama Rafli hanya menyengir. "Besok tes SNMPTN bakal dilangsungkan. Lo ikut, nggak?"

Mendengar itu, Ria mengalihkan pandangannya pada semangkok bakso di mejanya. Entah kenapa jantungnya mendadak berdebar.

Jujur saja, pertanyaan semacam ini membuat hatinya resah. Apalagi jika ada orang yang bertanya seperti: habis SMA mau lanjut ke mana?

Ria tidak akan menyalahkan orang yang bertanya. Mungkin memang bagi sebagian orang sangat mudah menjawabnya, tapi bagi Ria tidak. Pertanyaan itu sangat rumit bila dibandingkan dengan soal-soal matematika yang sudah ia kerjakan.

Selagi memakan baksonya yang hampir habis, Ria kembali menatap Rafli. "Nggak tahu nih, aku belum izin ke orang tuaku."

Rafli tahu apa sebenarnya maksud perkataan Ria, tapi ia memilih untuk tidak mengutarakannya. Rafli juga tahu Ria anaknya berprestasi, sering menang olimpiade, dan menjadi kebanggaan sekolah serta para guru.

Maka, yang selanjutnya Rafli lakukan adalah memegang tangan Ria, lantas berkata, "Prestasi lo banyak, gue harap lo dapet izin dari orang tua lo, Ri."

Sepertinya orang tuaku tidak akan mendukungku kali ini, Batin Ria.

***

Universitas Brawijaya, sebuah perguruan tinggi yang terletak di kota Malang, Jawa Timur. Sejak menduduki bangku SMP, menjadi salah satu mahasiswi UB adalah impian terbesar Ria.

Sebenarnya, banyak teman-temannya yang bahkan mendukung Ria untuk mewujudkan mimpinya tersebut. Namun, apa boleh buat? Ekonomi orang tuanya saja sangat tidak memungkinkan.

Keinginan Ria untuk mendaftar SNMPTN sangat kuat, tetapi ia tidak berani untuk meminta izin kepada orang tuanya karena sudah pasti jawabannya adalah tidak. Lagi pula, Ria tidak ingin menambah beban orang tuanya.

Sepertinya kali ini Ria harus mengesampingkan hal tersebut. Karena jika tidak mencoba, maka dia tidak akan tahu. Maksudnya, mencoba untuk meminta izin pada orang tuanya.

Meski kemungkinannya kecil, tapi setidaknya Ria sudah mencoba.

Saat ini, ibu dan ayahnya tengah berada di ruang tengah. Lebih tepatnya sedang menonton tayangan televisi. Kemudian Ria perlahan berjalan menghampirinya dengan jantung yang berdebar.

"Ibu, Ayah, Ria mau memberi tahu sesuatu," kata Ria ragu-ragu.

Wajah Ibu yang sudah tak lagi muda itu menatap ke arah Ria, sementara Ayah masih fokus dengan tayangan televisi sembari mendengarkan Ria.

"Ada apa, Ri?" tanya Ibu.

"Besok tes SNMPTN akan dimulai. Apa Ria boleh melanjutkan pendidikan Ria ke perguruan tinggi negeri?"

Seketika Ayah langsung menolehkan pandangannya pada Ria.

"Kamu pernah mikir, Ri, berapa biaya untuk kuliah?" Ayah bertanya dengan vokal tegas.

Sudah Ria duga. "Tapi, Ria harus mewujudkan mimpi Ria, Yah."

"Mimpi apa? Kamu tahu kita orang tidak punya, Ria. Kalaupun kamu kuliah nanti, ayah nggak mau kuliah kamu harus berhenti di tengah jalan hanya karena masalah ekonomi keluarga kita."

Bagai dihantam ribuan belati, hati Ria terasa perih.

"Ria janji hal itu nggak akan terjadi, Ayah."

"Bagaimana caranya? Sudahlah, nurut apa kata ayah. Cukup bantu ibumu jualan kue saja."

Ria menunduk. Kedua matanya tiba-tiba memanas. "Jadi, itu artinya ... pendidikan Ria hanya sampai di sini?" katanya lirih.

Ibu yang sedari tadi hanya menyimak, kini merengkuh Ria ke dalam pelukannya. Seolah ia benar-benar merasakan posisi Ria sekarang. "Nak, hanya karena kamu tidak kuliah, bukan berarti pendidikan kamu berhenti sampai di sini. Masih banyak peluang di luar sana yang bisa kamu raih tanpa harus kuliah. Asalkan kamu mau berusaha,  berdoa, dan konsisten."

Ria tidak menjawab. Dia hanya menangis di pelukan Ibu. Berharap apa yang dikatakan Ibu akan benar-benar terjadi padanya.

*****

Jawa Timur, 22 April 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jawa Timur, 22 April 2022

Saifa

Sangkar MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang