Harsha menelisik di setiap gerak-gerik kedua insan di balik air mancur. Keberadaan Raiden dan Rena diintip tanpa diketahui oleh siapapun. Harsha sesekali membidik mereka berdua, supaya sahabatnya senang akan potretannya. Namun, ada satu rahasia terbesar dalam hati Harsha yang tak bisa ia ungkapkan ke siapapun. Pemuda penuh misterius itu tetap setia mendengarkan bagaimana gelak tawa Raiden dan Rena dari kejauhan.
"Seneng deh kalau kayak gini. Kamu mau diajak ke taman tanpa paksaan, ada gerangan apa?" Tumben saja menurut Raiden, perempuan ini tidak susah untuk di dekati.
Rena mengerjapkan matanya berapa kali. Ia mengalihkan pandangan, memang benar hari ini agak aneh dari dirinya. "Mungkin, karena kamunya juga mastiin gak bakalan ngeselin lagi."
Raiden melayang mendengar suara lembut Rena. "Biasanya kalau orang yang dari kasar ke lembut itu ada apa-apanya," ujar Raiden.
"Nggak, biasa aja deh. Ini kita ngapain di sini? Katanya mau cerita." Rena tak sabar mendengarkan pria penuh kepribadian tertutup itu mengungkapkan isi hatinya. Seraya ia fokus menggambar objek orang lalu lalang di depan matanya.
"Kapan-kapan saya juga mau digambar."
Raiden melirik ke arah buku sketsa milik Rena. Rena menoleh, "Mau juga? Aku biasanya ngasih ke orang-orang tertentu dan spesial. Kamu belum didedikasikan sebagai orang tersebut." Kejujuran Rena membuat Raiden tertegun.
"Kalau masih belum, berarti ada kesempatan, dong?" tanya Raiden memastikan.
"Iyaa, masih bisa."
Rena menghentikan kegiatan gambarnya. Sontak dirinya mengingat kejadian tahun lalu, dimana ia pernah menaruh hati pada seseorang di sampingnya. Seiring berjalannya waktu mengenal sifat menyebalkan seperti Raiden, butuh banyak kesabaran untuk menghadapinya.
"Kak, mau tau sebuah fakta?"
Raiden menaikkan kedua alisnya. "Kenapa? Bilang aja," sahutnya.
"Aku lebih dulu mengenal, sebelum kamu mengenal aku dan sempat jatuh suka dulu. Maaf." Rena sudah berani mengatakannya, sebab perasaannya kepada Raiden telah berbeda.
Pemuda itu mengatupkan kedua bibirnya rapat. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. Mengapa semua terjadi secara cepat tanpa aba-aba, Raiden tidak tahu harus apa. Apakah masih ada secercah ruang di sana untuk keberadaan Raiden dengan segala kepribadiannya?
Pasalnya, memang Raiden sampai saat ini setelah menjalani setiap hari bersama Rena-ia menaruh hati tak sengaja.
"Dulu? Untuk sekarang? Apa rasanya masih sama?" Raiden ragu.
"Kak, kenapa nanya gitu? Kalau jawab yang sejujurnya, apa bakalan ada pilu di sana? Lebih baik, jawabannya di simpen."
Raiden menelan salivanya. Gadis itu tahu bagaimana yang akan terjadi selanjutnya. Raiden sering mengalami overthinking setiap malam, makanya Rena mencegah untuk menjawab. Tapi perempuan itu tidak mengerti, perkataannya justru menjadi sumber pertanyaan di otaknya bercabang.
"Dek, biarin saya tau kenyataan yang pahit, daripada kebohongan dari bibirmu."
Rena menghela napasnya lelah. "Kamu tau kalau aku anaknya gak pernah bisa bohong, apalagi di depan kamu. Perasaannya kadang gak sinkron. Kadang berubah sekala bagaimana Kakak nge-treat aku."
"Saya ingin menetap, Rena. Tanpa harus jadi orang lain."
Rena mengangguk dan tersenyum. "Kenapa takdir bilang kita tetap harus bersama? Walau jabatan BEM udah selesai. Malah kita sekarang kita disatukan di Jurnalis. Udah rencana semesta, Kak. Kalau suka harus ada effort, Kak. Setiap orang punya cara masing-masing untuk membahagiakan orang yang dia sayang." Entahlah Rena hanya menyadarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Raiden! [On Going]
Художественная прозаRena tak pernah menyangka tak sengaja bertemu dengan Raiden. Kalau saja dirinya tidak mau dibujuk oleh sahabat di kampusnya, ia tidak akan pernah bertemu dan merasakan penyesalan, perkara Raiden seorang. Keduanya pernah menjabat menjadi Ketua & Waki...