II

251 16 0
                                    

"Bel akan berbunyi dalam waktu lima menit lagi! Bapak harap peserta baru berkumpul dilapangan sesuai kelompoknya masing masing."
Hampir saja telat. Untung lari Rania lumayan kencang. Ia mengambil nafas sembari menyeka peluh di dahinya sesekali menatap kesal arah belakang.

"Hufft, Liat aja! nanti Rania bakal buat kak Rino jadi makanan kucing!" gumamnya.

Rania setengah berlari menuju lapangan tempat peserta MOS berlangsung. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri  dan mendapati sahabatnya tengah mengangkat kedua tangannya memanggil Rania.

"Sini," ucap Desfa dengan bahasa bibirnya.

"Oke!"

Ketua osis beserta anggotanya berdiri dengan gagah di depan. Ada yang berkacak pinggang memarahi siswa yang tak bisa diam, ada yang memulai kisah asmara dan berbagai macam tipe yang dapat mereka temukan.

"Kali ini kakak beri kalian satu jam untuk membuat puisi bertema bebas. Setiap kelompok harus menyediakan satu korban untuk membacakan puisi di depan kita semua. Disini ada berapa kelompok ya?" Ketua osis itu tampak menghitung jumlah kelompok. Untung saja ada anggota-nya yang langsung menjawab sehingga tak perlu menghabiskan waktu.

"Ada tiga belas kelompok, Dit!"

Mereka langsung memulai pekerjaan mereka. Rania berada di kelompok dua yang berisi lima belas orang. Semuanya adalah laki-laki kecuali Rania dan Desfa. Kebetulan siswa laki-laki di sekolah ini sangat minim siswa perempuan.

"Sudah tiga puluh menit, gak ada yang siap?" Desfa lagi lagi mengeluh entah yang keberapa kalinya. Teman temannya itu hanya diam memandangi kertas dan pena mereka.

"Aku baru setengah!"

"Aku masih satu bait!"

"Aku sudah selesai!"

Desfa tak habis pikir mengapa ia mendapat kelompok yang sulit diandalkan, ia terus menggerutu sembari mengipasi wajahnya dengan selembar kertas.

"Coba kalian bacakan satu satu" pinta Desfa.

Mereka semua terdiam termasuk Rania, alhasil Desfa menarik kertas mereka dan mengoreksinya.

"Cinta itu buta
Tapi mataku bersinar ketika menatap dirimu
Cinta itu tuli
Tetapi aku terpana mendengar suara merdumu
Sekarang Cinta itu apa ketika bersamamu?
Kupikir kau cinta sejati
Bagai malaikat maut yang sulit ditebak kapan mau menjemput"
Puisi Gara akhirnya menjadi kandidat pertama yang akan dibacakan. Walaupun tidak ada bagusnya, tetap saja puisi Gara  yang selesai. Sekarang giliran puisi Yanto yang dikoreksi Desfa.

"Hidup itu sulit
Hidup itu rumit
Akhirnya sama saja
Kenapa kita harus sekolah
Gue capek pengen nikah
Kalau mati gue belum siap"

Desfa berusaha menahan tawa setelah membaca puisi Yanto. Penasaran mengapa sahabatnya itu tertawa, Rania pun merebut kertas puisi Gara dan membacanya bergantian dengan yang lainnya. Seketika tawa mereka semua pecah dengan humor receh barusan, entah apa yang membuat puisi itu terlihat lucu, mereka pasti merasa sudah tak waras.

"Waktu sudah habis! Kumpulkan kertas dan pilih wakil kalian!"
Desfa langsung menunjuk Rania agar mewakili mereka membacakan puisi karya Gara.

"Nggak, Kamu aja, Des." Rania menolak ajuan Desfa tetapi tetap saja Desfa kekeh dengan pendiriannya.

"Cepet, nih bawa kertasnya!"

Terdengar tawa berbisik dari teman-temannya membuat Rania menghentakan kakinya kesal. Untung saja nomor urut mereka dua, sehingga tak begitu gugup untuk maju.

Mereka menunggu peserta urut pertama membacakan puisi hingga selesai. Bait nya panjang sekali dan irama-nya lambat. Mengayun-ayun hingga yang mendengarkan pun menyempatkan waktunya untuk menguap.

RANIA✔️ [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang