V

165 15 0
                                    

Bau obat-obatan khas rumah sakit memang menjadi ciri khas tempat yang Rania benci, tapi tempat inilah yang menampungnya ketika harapan hidupnya tinggal seonggok. Rania membuka matanya, hatinya kesal setiap kali berada di ruangan ini.

"Bagaimana anak saya, dok!!"
Suara samar terdengar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin.

"Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"

Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Yang mereka lakukan hanyalah ketakutan dan kecemasan, menyangkut Rania mereka jadi hilang kendali.

"Rania tiga hari disini dulu supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.

"Maaf, Ma!" sesalnya.

Vita balas tersenyum. Ia menatap putrinya setelah usai membenarkan selimut.

"kamu ini bikin semua orang khawatir aja!" omelnya lagi.

Vita bertugas untuk menemani Rania hingga kembali normal, sementara yang lainnya dipinta mama Rania untuk pulang beristirahat.

"Nggak apa sendiri, Ma?" tanya Doni berusaha meyakinkan istrinya itu.

"Iya, Pulang terus tidur!"

Doni pun akhirnya pulang bersama Rino, sepanjang perjalanan Doni hanya mencari tahu mengapa Rania bisa sampai kambuh seperti itu. Padahal, biasanya ia normal.

"Om takut banget kehilangan Rania!" Doni frustasi jika menyangkut soal Rania. Bertahun-tahun ia bekerja keras agar bisa memiliki uang yang melimpah demi mencari pengobatan terbaik.

"Mending Om tenangin diri dulu. Supaya jangan terbawa pikiran. Nanti om sakit." ucap Rino.

Doni membiarkan Rino menyetir mobil karena tak mungkin dengan kondisinya saat ini ia berkendara.

"Jangan kencang-kencang, Ini sudah malam!" peringat Doni.

Rino langsung menurunkan kecepatan seperti yang dipinta pamannya itu.

Setelah sampai di rumah, Doni duduk di ruang tengah untuk menenangkan dirinya.

"Mulai besok kita sewa dua asisten rumah tangga. Kita harus mencari yang mau bekerja dua puluh empat jam!"

"Segera Rino urus,"

"Terimakasih, om tahu kamu bisa diandalkan!" puji Doni.

Fani keluar dari kamarnya dengan mata yang sembab. Ia keluar dan terkejut melihat papa-nya duduk di ruang tengah.

"P-papa..." gugup Fani.
Doni langsung mengalihkan pandangan ke putri bungsunya yang berdiri sepuluh kaki dari tempatnya.

"Kamu nangis?"

Fani mengangguk.

"Kenapa?"

Fani Menggelengkan kepalanya.

"Fani, Kemari!" panggil Doni.
Fani pun berjalan ke arah Doni perlahan. Fani menunduk tak berani menatap Doni yang sulit ditebak raut wajahnya.

"Maafin Fani, Pa. Gara-gara Fani, kakak sibuk nyari hadiah untuk Fani," Doni memegang kepalanya frustasi, menarik nafas panjang lalu membuangnya kasar hingga Fani terkejut.

"Kamu ingatkan janji kamu sama papa?"

Fani mengangguk.

"Fani bakal jaga kak Rania, gak bakal ada lecet sedikitpun. Walaupun Fani adalah seorang adik, tapi Fani harus jadi superhero untuk kakak!" Ucap Fani walaupun sedikit tersendat karena menangis.

RANIA✔️ [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang