IV

176 12 0
                                    

Desfa berencana untuk menginap di rumah Rania, kondisi rumah tantenya tidak memungkinkan untuk ia tinggal disana. Kakak sepupunya berulang kali melakukan kekerasan kepadanya.

"Entah kenapa dia kembali setelah sekian lama gak pulang, dia ninggalin Tante sendirian tapi setelah dia pulang dia malah bikin tante nangis," Desfa membatin, dipandanginya terus tantenya yang berdiri termenung memandangi isi kulkas.

"Tan, aku nginap di rumah Rania ya. Desfa takut kalau disini," ucap Desfa sekaligus menghentikan tantenya termenung.

"Maafin tante, ya. Desfa pasti takut,"

"Aku pergi dulu ya, Tan"

Perlahan Desfa berjalan meraih knop pintu. Nafasnya tertahan berharap sepupunya tidak memergokinya. Ia berjalan dengan sangat hati-hati, maklum saja ia trauma dengan kekerasan yang dilakukan sepupunya.

"Uwh, si pungut pulang. Aku pikir sudah mati. Aku kasih saran ya, mending kamu bunuh diri daripada tersiksa!" Sepupu Desfa datang tiba tiba. Ia duduk di kursi menyilangkan kakinya bak seorang model.

Desfa diam saja tidak membalas, ia bahkan langsung pergi ke kamarnya kembali pada tujuannya.

"Buku, baju, tas, oke. Apalagi ya?" Desfa mengingat-ingat apalagi yang dibutuhkannya.

"Kayaknya sudah semua, deh"
Desfa menggandeng tas-nya dengan bertatih-tatih. Beratnya tas itu sungguh menghambat jalannya keluar rumah.

Bugh

Skrekk

Kini hidung Desfa penuh dengan darah. Tak lupa dengan rambutnya yang sudah digunting asal oleh Fika, sepupu kejamnya itu. Bukannya berhenti Fika semakin menjadi.

"Sakit, kak!!" erangnya.

"Ya iyalah sakit!!" Rambut Desfa kini tinggal sebahu. Fika sepertinya belum puas mengacak-acak Desfa. Kini pakaian Desfa digunting hingga modelnya sudah tak beraturan.

"Kau pikir aku segan melakukan ini? Mama harus lihat perbuatan kerenku!" Dengan berapi-api, Fika meninju Desfa hingga hampir tak sadarkan diri.

"FIKA!!!" Tantenya membawa sapu untuk memukul anaknya itu. Beruntung tantenya datang sebelum Desfa sekarat.

"Aku masih kuat!!" Desfa mencoba berdiri, walaupun jatuh berkali kali setidaknya dia bisa kabur dari lubang buaya.

Desfa akhirnya bisa berdiri dan berjalan normal saat energinya mulai terkumpul. Ia mencari ojek yang beraktivitas di malam hari. Untung saja, rumahnya dejat dengan pengkolan ojek sehingga ia tak perlu bersusah payah berjalan mencari.

"Adik korban aniaya, sebaiknya lapor ke polisi. Bapak bisa bantu jadi wali, kok." pria dewasa itu menatap Desfa dengan tatapan kasihan.

"Nggak usah, Pak. Makasih!"
Sesampainya dirumah Rania, tangis Desfa pecah saat itu juga. Air matanya melunturkan darah kering yang bersemayam di kulit sekitar hidungnya. Belum, lagi lebam di keningnya dan di badannya. Desfa runtuh saat itu juga, di depan pintu rumah Rania.

"Astaga, Desfa. Kak Rino Bantuin Rania" teriaknya.
Rania menepuk pelan pipi kiri dan kanan Desfa, namun tetap saja tak kunjung sadar.

"Apasih, Ran? Astaga temen kamu itu kenapa!" Teriak Rino.

"Mending kakak bantu bopong Desfa ke kamar aku!"

Desfa sempat sadar dirinya di bopong, namun ia terlalu lemah untuk bangkit. Saat sadar tadi ia hanya melihat seorang pria namun pandangannya buram sehingga tak tahu siapa yang menggendongnya itu.

"Lukanya banyak, kakak Coba telepon dokter ya!" Ujar Rino setelah meletakan Desfa diatas kasur.

"iya, kak. Cepetan!" Pinta Rania.

RANIA✔️ [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang