III

188 19 0
                                    

"Kak Rania aku mau nunjukin sesuatu." Rania yang baru saja pulang sekolah segera meletakan tasnya asal dan berjalan menuju adiknya.

"Emang ada apaan?" Rania menelusuri ruangan yang pintunya telah ditutup oleh Fani.

"Cerpen Fani bakal terbit di majalah anak dan Fani bakal dapat uang. Nanti, Fani beliin kakak hadiah!"
Fani membuka laptopnya dan menunjukan bukti pengiriman cerpen di email dan sudah di setujui oleh pihak penerbit.

"Wow!! Keren! Sejak kapan  kamu jadi suka nulis?" tanya Rania.

"Udah lama,"

"Sebenarnya, bukan ini aja cerpen Fani yang sudah terbit. Masih ada, tapi nggak Fani kasih tau." Fani tersenyum menatap Rania namun ia menghindari bertatapan dengan kakaknya itu, lalu ia mengangkat kepalanya. Perlahan utasan senyum miliknya memudar lalu terpancar lagi. Fani berusaha menjaga raut wajahnya.

"Tapi kenapa?" tanya Rania karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Fani. Jujur, Fani terlihat jarang bicara. Ia hanya bicara seperlunya, dan hari ini ia menunjukannya pada Rania apa yang Fani sembunyikan.

"Gimana mau dikasih tau? Mama sama papa 'kan pedulinya sama kakak. Mereka juga sibuk ngurusin kakak. Jadi, Fani gimana nunjukinnya?" Rania sukses terdiam dibuatnya, Fani benar-benar membuat sosok dihadapannya terpaku.

"Mama dan papa juga khawatir kalau Fani sakit. Mama dan papa takut kehilangan Fani jadi Fani nggak boleh berpikiran seperti itu," Rania merangkul Fani agar ia dapat menenangkan adiknya, hanya saja adiknya itu menarik kembali tubuhnya.

"Hah? Nggak salah tuh? Emang kakak pernah lihat Fani sakit?" Nada bicara Fani meninggi, gadis itu tak terima jika kenyataan yang ia rasakan dibantah oleh kakaknya sendiri.

"Emang kakak pernah lihat mama dan papa pulang dengan sigap demi lihat aku sakit?" Sadar akan nada bicaranya, Fani merendahkan nadanya.

"Kakak nggak pernah ngerasain jadi aku," Fani menutup laptopnya dan meletakannya di atas meja. Kemudian, ia menatap Rania sebentar. Bukan ini yang ia harapkan, ia hanya ingin seseorang memahami perasaannya, namun ia masih termakan emosi.

"Aku mau kakak keluar dan istirahat. Takutnya, mama dan papa tiba-tiba pulang." Fani menunjuk arah pintu. Ia melihat Rania yang hendak berbicara namun memilih bungkam. Fani menyesal, sebenarnya ia tak ada niat untuk membentak kakaknya itu.

"Maaf, kak" gumam Fani ketika Rania sudah menutup pintu.

Rania berjalan kearah kamarnya dengan gontai, memijit sedikit keningnya, menghela nafas panjang dan menundukan matanya.

Rania membuka lacinya dan melihat banyak pil yang harus ia telan. Rania menutup kembali lacinya, enggan untuk memakan pil tersebut. Hatinya masih sesak akan perkataan adiknya itu.

"Makan obatnya!" Rino menyenderkan badannya dipinggir pintu kamar Rania. Rino juga tak lupa menyilangkan  tangannya di dada yang sudah menjadi khas dari sepupunya itu.

"Males!"

"cepat!"

"Satu!" Rino memulai perhitungan.

"Iya, bawel amat sih!" Rania membuka lacinya kembali dan mengambil beberapa pil.

"Ini airnya, Non" ucap Asisten rumah tangganya itu.

"Makasih, Bu" Rania segera menelan obatnya itu satu persatu sesuai dosis yang dianjurkan. Obat-obatan meluncur dengan dorongan segelas air putih menuju kerongkongan.

Rania bergegas untuk berbenah setelah itu ia memainkan ponsel-nya dan membuka instagram miliknya.
Iseng, Rania mengetik sebuah nama yang ada dipikirannya 'Gamalio Keano' dan nama itu banyak sekali. Setelah Rania stalking, ternyata itu bukan Gama melainkan orang lain.

"Hua!!! Yang mana sih Gama? Aku pengen chatan sama Gama!" Rania menutup ponselnya dan membenamkan tubuhnya di selimut. Tangannya mencari-cari  remot Ac yang mungkin berserak entah kemana.

Tok tok tok

"Masuk!"

Fani membuka pintu dan berjalan ke arah Rania. Fani tampak kesulitan membawa tumpukan buku yang jumlahnya tidak sedikit. Rania pun membantu adiknya agar tidak kesulitan.

"Duduk sini dekat kakak." Rania meletakan sebagian buku Fani di atas ranjangnya. Fani membuka satu persatu majalahnya dan lembar demi lembar halamannya.

"Dihalaman 49 ada cerpen aku!" ucap Fani.

"Nah, kalau dibuku ini di halaman 12," ucap Fani menunjukan buku satu lainnya.

"Kakak baca, ya. Ini sebagai permintaan maaf Fani." imbuhnya.
Hati Rania terenyah. Ia menjadi merasa bersalah pada adiknya. Rania termenung ketika memandangi Fani lalu beralih ke dirinya sendiri, batinnya berbicara kalau bukan keinginannya memiliki penyakit mengerikan. Ia juga tak ingin diperlalukan seperti bayi.

"Maafin kakak juga, andai kakak nggak punya penyakit pasti hal ini nggak akan terjadi." Rania menunduk dengan tangannya yang sibuk membuka satu persatu halaman majalah milik Fani.

"Fani yang salah, kak. Fani yang egois!" Fani pun memeluk Rania, bagaimana pun juga ia masih merasa bersalah.

"Rania...."

"Rania..."

Mendengar ada yang memanggil dari luar. Rania melepaskan pelukan mereka dan pergi menuju suara tersebut.

"Apa sih Desfa!" Ujar Rania.
Desfa langsung memeluk Rania. Raut wajahnya menandakan kalau Desfa sedang tidak baik baik saja.

"Ada apa, Des?" tanya Rania lembut.

"Mau main!" Rania tau apa yang terjadi pada Desfa. Biasanya, jika Desfa datang dengan tiba-tiba pasti ada sesuatu yang salah.

"Pasti ada sesuatu, kamu gak bisa bohong, Des. Gak ada salahnya kamu cerita!" tegas Rania.

Desfa menangis seketika. Badannya bergetar dan nafasnya tidak teratur. Rania memilih diam saja sampai Desfa sendiri yang menceritakannya.
"Anak tante aku pulang. Dia ngehina aku dari tadi. Dia juga mecahin piring di depan aku dan  nyuruh aku bersihin pecahan itu dengan tangan kosong!" Tangis Desfa semakin pecah kala Rania memeluknya.

"Dia keseringan bilang kalau aku harusnya meninggal sama mama dan papa sewaktu kecelakaan dulu!" Desfa semakin mengeratkan pelukannya pada Rania, tak peduli seberapa keras tangisnya.

"Maaf ya, Des! Aku nggak bisa bilang apa-apa. Kalau kamu mau nginap disini, boleh kok! Yang penting kamu tenangin diri kamu dan jaga pikiran kamu." Rania menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu, berharap ia dapat memberikan energi positif pada Desfa.

"Makasih, Ya. Aku udah agak tenang. Cuman kamu yang pengertian!"
Rania membawa Desfa ke kamarnya dan memberikan Rania air hangat. Ia juga memasang musik kesukaan Desfa agar sahabatnya itu melepaskan penat-nya

"Kamu yakin mau pulang?" Tanya Rania untuk memastikan keputusan sahabatnya itu.

Desfa melirik arloji yang hinggap ditangannya, "Sudah jam enam sore, kasihan tante aku sendiri. Anaknya udah gak waras, bisa-bisa tante aku dipukuli!"

"Aku khawatir, Des. Takut hal buruk terjadi sama kalian berdua,"

"Kalau terjadi sesuatu aku bakal telpon kamu, Ran. Jadi siaga ponsel ya!" Desfa berjalan menjauh menju luar gerbang, sembari melambaikan tangannya pada Rania.

"Hati-Hati!" Teriak Rania.

•••

TBC

Gimana dengan part ini, belum nyesek ya?

Aku belum berniat bikin kalian nangis, aku masih mau buat adegan bapernya.

Oh iya aku pengen banget cerita rame.
Kemarin minta promosi sama orang, udah bayar tapi belum dikonfirmasi (Mungkin karena murah ya makanya lama balas dia)
Semoga aja, dengan adanya promosi  bisa makin rame ya.

Kayak ya aku bakal up story banyak-banyak, hehe...

Just wait, guys.

🖤🖤🖤

RANIA✔️ [REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang