"Capek banget jadi miskin terus," gumamku sembari terus berjalan menyusuri kompleks.
Beruntung, Zaki tidak rewel, tidak seperti kakak-kakaknya dulu.
"Mas Bahar juga belum pulang, bilangnya cari kerja!" gumamku lagi.
Dengan terik matahari yang cukup menyengat membuatku sedikit kelelahan.
"Sania! Mau ke mana siang-siang kayak gini?" tanya Bu Jasmin padaku.
"Mau ke rumah Bu Puji yang katanya baru pindahan," ucapku santai.
"Mau ngapain ke sana? Mau numpang makan?" tanyanya sembari ia cengengsan di depanku.
"Maksudmu apa, Bu Jasmin? Asal Ibu tahu, ya, kami nggak kurang makanan apa pun," ucapku sedikit emosi.
"Halah, Sania. Kamu bohong. Buktinya, tadi siang Adrian minta bakso ke warungnya Pak Sarno," ucapnya semakin membuatku bertambah emosi ditambah dengan cuaca panas yang menyengat.
"Apa? Minta? Pak Sarno yang ngasih gratis!" ucapku.Sebenarnya, Adrian yang berbohong atau Bu Jasmin yang memfitnah Adrian?
Dasar anak nggak tahu diuntung. Awas saja kalau memang dia sengaja meminta bakso diwarung Pak Sarno! Aku membatin kesal."Eh, Sania, kalau nggak mampu beli, mending makan seadanya saja. Kan, malu sampe minta-minta gitu."
Aku tak merespons apa yang dikatakan Bu Jasmin, aku meninggalkan ia di tengah jalan. Kepalaku rasanya bertambah pening.
"Nak, kamu kepanasan, ya? Sebentar, ya. ini juga mau sampe rumah Bu Puji." Anakku wajahnya mulai memerah karena kepanasan.
Rumah megah berlantai dua sudah di depan mataku, mataku takjub melihat gedung rumah berwarna putih ini dengan halaman yang cukup luas.
"Gede banget rumahnya," gumamku.
Aku mulai mendekati gerbang yang dicat berwarna hitam. Terlihat tombol bel di sana, mungkin dengan menekan tombol ini, tuan rumah akan keluar menemuiku.
Kutekan bel ini.
"Ada apa, Bu?" terlihat satpam yang berjaga keluar menemuiku.
"Saya mau silaturahmi aja, Pak. Katanya di sini ada tetangga baru," ucapku.
"Oh iya, mari masuk saja. Ibu Puji pun bilang katanya kalau ada tetangga yang silaturahmi disuruh masuk," ucapnya.
"Iya, Pak."
"Ayo, silakan. Langsung masuk aja, nggak apa-apa. Tadi Bu Puji lagi di teras bareng anaknya," imbuh Pak Satpam.
Tak menunggu waktu lama aku berjalan menuju sebuah teras.
Terlihat sosok wanita tengah duduk santai dengan membaca sebuah buku.
"Permisi, Bu."
Lalu dia pun menoleh. "Eh, ada tamu. Ayo, duduklah!"
"Warga sini, ya, Mbak?" tanyanya padaku.
Aku mulai menduduki sebuah kursi di sampingnya."Iya, Bu, saya warga sini. Maaf ya, Bu, saya hanya ingin silaturahmi saja, katanya ada warga baru di sini," ucapku.
"Oh iya, nggak apa-apa, Mbak. Saya malah seneng, nih, jadi ada temen," ungkapnya santai.
"Oh ya, sebentar, ya."
"Mbak Nia, tolong ambilin minuman sama makanan, ya! Bawa ke sini, di sini ada tamu!" teriak Bu Puji. Sepertinya ia meneriaki pembantunya.
"Maaf, ya, Mbak. Saya teriak tadi, dia masih baru di sini," ucapnya.
"Iya, Bu, nggak apa-apa. Malah saya yang merasa merepotkan," jawabku.
"Ah, jangan merasa begitu, Mbak," ucapnya.
"Eh, ya, Bu, barangkali belum tahu nama saya. Nama saya Sania. Ini anak saya, Zaki," ucapku.
"Oh, hai, Zaki. Zaki umur berapa, Mbak?" tanyanya.
"Baru dua tahun tiga bulan, Bu," jawabku santai.
"Punya anak berapa, Mbak Sania?"
"Saya punya anak empat, Bu,"
"Wah, rame, dong. Eh, saya ada banyak camilan, lho. Nanti bawa aja buat anak-anakmu, ya," ucapnya.
Wah, asyik sekali punya tetangga kayak gini. Nggak kayak Bu Jasmin yang bisanya ngehasut mulu, batinku.
"Aduh, jadi enak ini, Bu," ucapku.
"Ah, nggak masalah, karena Ibu yang pertama kali ke sini, jadi saya kasih aja, lah. Anak saya jarang ngemil, jadi kadang mubazir. Kan, sayang kalau nggak dimakan."
Aku tersenyum malu. "Ibu punya anak berapa, ya?"
"Sebenarnya punya anak empat, tapi sudah meninggal. Jadi yang sama saya, cuma anak sulung," ucapnya.
"Oh, jadi adik-adiknya meninggal, begitu?" tanyaku.
Bu Puji hanya mengangguk, mungkin masih ada kesedihan yang terselip di benaknya.
"Ini, Bu, silakan," ucap pembantu Bu Puji yang keluar dengan membawa beberapa makanan.
"Ayo, Mbak Sania, dimakan," ucap Bu Puji.
"Iya, Bu, makasih banyak."
"Oh ya, Bu, suami Ibu di mana?" tanyaku sembari menguyah salah satu biskuit yang disajikan tadi.
"Suami saya meninggal, karena sakit," ucapnya.
"Innalilahi, maafkan saya, Bu."
"Tak apa, Mbak. Ayo, dimakan saja, nanti saya siapkan buat yang dibawa pulang Mbak Sania."
"Atau mau masuk, lihat-lihat rumah saya juga boleh," tambahnya lagi."Ya kalau boleh, sih, Bu. Pengin lihat-lihat di dalam," ucapku.
"Ya sudah, ayo saya tunjukan!"
Desain rumah yang superantik menurutku, walaupun bercat putih, tetapi nuansa antik sangat kental di dalamnya. Banyak sekali pajangan yang menurutku aneh. Ada juga pajangan kepala kerbau yang menempel di dinding, agak seram sebenarnya.
"Ibu suka yang antik-antik, ya?" tanyaku sembari terus berjalan melihat-lihat isi dari rumahnya.
"Iya, saya sangat menyukai hal ini, saya nyaman dengan hal ini, Mbak."Aku hanya mengangguk.
Banyak juga pajangan foto yang terpampang di setiap tembok. Ada juga foto dengan anggota keluarga, foto anak-anak yang mungkin foto anak-anaknya yang sudah meninggal. Dan ada pula pajangan foto yang cukup besar, sosok pria tua tengah duduk ada di dalam foto itu.
"Ini foto siapa, Bu?" tanyaku sembari menunjuk foto yang kutanyakan.
"Itu foto guruku, beliau seperti ayahku," ucapnya.
"Masih hidup, kah?" tanyaku penasaran."Iya, masih. Tapi beliau tidak tinggal di sini," jawabnya.
Aku hanya mengangguk, lalu melanjutkan melihat-lihat isi dari rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...