Aku tidak bisa hidup seperti ini terus menerus, kondisi Ibu semakin hari semakin aneh.
Pagi-pagi buta aku pergi ke rumah Pak Haji Rosadi untuk menyelidiki kasus ini.
“Pak, Pak Haji.”
Sehabis subuh, aku memaksakan diri untuk menginjakan kaki di rumah Pak Haji.
“Pagi sekali, Adrian. Ayo masuk. Bapak baru saja selesai salat Subuh.”
“Duduk dulu, kamu tampak sangat khawatir,” imbuhnya lagi.
Napasku memang masih belum teratur. “Iya, Pak, bagaimana penyelidikan kemarin ada sesuatu yang aneh, terus jasad Bapak di mana, Pak?”
Pak Haji tampak tegang dari raut wajahnya, ia mengembuskan napas pelan.“Ini kasus pembunuhan Adrian, pihak penyelidik mungkin akan memeriksa Ibumu,” ucapnya pelan.
“Ibu?”
Tak kuduga aku masih mengingat masa-masa di mana Bapak dan Ibu berkelahi. Apa mungkin ini penyebab meninggalnya Bapak? Dan mengapa Ibu menutupi hal ini?
“Tapi, Pak, Ibu terlihat sangat depresi dan hilang ingatan. Aku berniat memeriksa Ibu ke dokter,” ungkapku.
“Tidak apa-apa, Ibumu sekarang di mana?” tanyanya padaku.
“Dia masih tidur, Pak. Nanti, aku akan pulang dulu. Ini alamat rumahku, kalau pihak penyelidik ingin ke rumahku, Bapak bisa berikan alamat ini saja. Dan tolong Pak, rahasiakan hal ini. Tolong Adrian sampai masalah ini tuntas.” Aku memohon pada pria tua ini agar ia terus bersamaku dalam kasus ini.
“Tenang Adrian, Bapak akan menuntaskan masalah ini. Pergilah, kasihan Ibumu,” jawabnya dengan senyuman tipis.
***
Sesampainya di rumah, aku segera mencari Ibu.
“Bu, Ibu! Ibu masih di kamar?!” teriakku dari luar kamarnya.Namun, Ibu tak menyahut apa pun, harusnya jam segini Ibu sudah bangun.
Ternyata pintu tak terkunci.
Ibu terlihat masih terbaring, tetapi setelah aku masuk, ia membuka matanya dan merintih kesakitan.Aku segera mendekat dan melihat kondisinya.
“Ibu kenapa? Apa yang sakit?” tanyaku dengan jidat mengkerut.
“Perut Ibu sakit,” jawabnya lirih.
“Ibu mau makan? Adrian ambilkan,” timpalku.
Ia menggeleng lalu menatap langit-langit kamarnya, sembari berkata, “Ibu sudah lupa semuanya, Ibu sudah lupa apa yang Ibu sudah perbuat, Ibu hanya ingat dirimu saja, Adrian.”
Aku terus menatap Ibu yang sedang berbicara sendiri.
“Lupa bagaimana, Bu? Ibu kenapa?” tanyaku heran.
“Ibu sudah lupa, Adrian! Kepala Ibu sakit, dada Ibu sakit! Ibu tidak punya siapa-siapa kecuali kamu!”
Aku menggeleng keheranan, mengapa ia terus berkata demikian?
Tak berlangsung lama, ketukan pintu depan terdengar cukup keras dengan hentakan kaki beberapa orang.
“Bu, Adrian ke depan dulu. Mungkin ada tamu.”
Seketika ia menarik tanganku, memaksa diriku agar tidak menemui siapa yang tengah mengetuk pintu.
“Tidak perlu, biarkan saja,” ucapnya.
“Memangnya kenapa, Bu? Siapa tahu itu orang penting,” sahutku.
Ia menggeleng dengan tatapan mata tajam kepadaku, tetapi aku berhasil melepaskan tangannya yang menghalangiku.
Segeraku berlari, aku tahu siapa yang tengah di depan.
***
“Akhirnya Bapak, ke sini juga. Mari masuk, Pak.”
Pak Haji Rosadi serta pihak penyelidik masuk kedalam rumahku.“Ibu akan memberontak dan berteriak, Pak. Jadi, tolong nanti tenangkan Ibu,” bisikku pada Pak Haji Rosadi.
“Sudah Bapak siapkan, kamu jangan khawatir,” bisiknya padaku.
“Ibumu di mana?” Salah tahu pria dari pihak penyelidik bertanya padaku.
“Ada di kamar, Pak,” jawabku sembari menunjuk salah satu kemar dengan pintu berwarna cokelat.
Kubuka pelan pintu kamar Ibu dan seperti biasa, Ibu sedang berbaring dengan tatapan kosong menghadap langit-langit kamar.
Ia menoleh dengan tatapan tajam. Namun, dengan mata yang sayu, tak seperti sebelum aku keluar meninggalkannya.
“Bu, Ibu.” Aku segera mendekat.
Namun, ia tampak diam dengan tatapan mata yang sama, keringat dingin bercucuran.
“Ibumu tengah sakit?” tanya salah satu pria ini.
“Ibu sedikit linglung, Pak,” sahutku.“Lepaskan dia, Adrian. Biar mereka akan menyelidiki ini.” Pak Haji Rosadi ikut menyahut.
Kemudian, aku berjalan mundur dan Pak Haji serta pihak penyelidik mendekat pada Ibu.
Entah apa yang sedang mereka lakukan, Ibu masih terdiam. Namun, setelah beberapa menit Ibu seperti sadar akan kehadiran mereka, lalu ia memaki-maki mereka serta memukuli mereka. Namun, itu hanya sebentar.
Ibu berhasil dikendalikan.
“Ibu, ini Adrian, Bu. Tenang, Bu, mereka baik, kok!” Aku mencoba menenangkan Ibu yang sudah mulai menangis setelah mendengar kata ‘Bahar’.
“Sepertinya ibumu harus dibawa untuk penangan lebih lanjut, saya melihat kondisi psikologisnya memang terganggu dan ini berisiko ke depannya,” bisik salah satu pria tadi kepadaku.
“Gimana baiknya saja, Pak. Saya siap, asalkan Ibu baik-baik saja,” ucapku.
“Tapi, kalau Ibumu masuk penjara bagaimana?” bisiknya lagi.
Jantungku rasanya diremas kuat. Namun, ini sudah menjadi keadilan, kalau memang Ibu terbukti membunuh Bapak.
“Kalau memang terbukti, saya tidak masalah, Pak,” jawabku dengan menelan saliva pelan.
“Mari kita bawa Ibu Sania!”
Ibu masih memberontak memanggil namaku. Namun, aku tak bisa berbuat apa pun.
“Ibumu mungkin sudah dijadikan sebagai tersangka kasus bapakmu ini,” ucap Pak Haji Rosadi yang masih tetap merangkul diriku yang sudah melemah.
“Adrian, nanti sama siapa Pak? Adrian cuma punya Ibu.” Tangisku pecah di saat Ibu dibawa untuk diperiksa dan melakukan penangan psikologis.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...