CHAPTER 36

6.6K 454 12
                                    

Mobil sedan putih terparkir tepat di depan rumahku, sebuah taksi online.

"Adrian, ayo cepat, keburu orang-orang tahu kalau kita pindah."

Sudah lama sekali aku berniat keluar dari rumah ini, tetapi terkendala oleh Mas Bahar serta anakku yang masih hidup. Namun, sekarang aku sudah merasa lega, karena tak perlu pusing lagi dengan masalah ekonomi dan aku bisa hidup dengan aman dan tenang bersama Adrian.

"Iya, Bu, sebentar!"

Adrian tampak terburu-buru dengan kemeja biru lengan pendek yang ia sedang kenakan.

"Lama banget, sih."

Tak berlangsung lama akhirnya kami berdua segera menuju ke lokasi tempat rumah yang akan aku beli. Aku sudah bernegosiasi bersama si pemilik rumah sebelum Zaki meninggal.

"Sekolah Adrian bagaimana, Bu?" tanya si pria kecilku ini.

"Nanti Ibu sekolahkan di sana, jangan khawatir!" jawabku.

***

Satu jam sudah berlalu, tempat yang sedang kami tuju memang lumayan lama dan melelahkan.
"Masih lama, Bu, Adrian sudah lapar," rengek anakku.

"Kenapa tadi nggak makan dulu?" lirikku.

"Nggak sempet, Bu. Ibu minta Adrian buru-buru," ucapnya pelan.

"Ini minum dulu, sebentar lagi juga sampai nanti Ibu pesan makanan."

***

Rumah minimalis dengan tema yang cukup unik menurutku, tembok putih dengan sedikit corak abu-abu membuat mata yang memandang terlihat tak begitu membosankan.

"Ini rumahnya. Tuh, yang punya rumah sudah menyambut."

Kami segera turun serta Pak Sopir ikut turun tangan membantu menurunkan beberapa barang yang kami bawa.

"Halo, Bu Sania, selamat datang. Akhirnya sekian lama nego, jadi beli, ya, Bu." Seorang wanita paruh baya lebih tua dariku menyalamiku dan Adrian.

"Iya, Bu, udah boleh ditempatin, ya, Bu?"

"Oh iya, silakan masuk," ucapnya.

"Kasihan anak saya, Bu. Sudah lapar katanya, maklum jaraknya lumayan lama, mungkin sedikit lelah, ya, Nak?" Aku berpura-pura terlihat lembut pada Adrian.

Ia hanya mengangguk.

"Ya sudah, Bu. Silakan istirahat saja."

"Uangnya sudah pas atau masih mau ditambahin, Bu?" bisikku padanya.

"Ah, itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih banyak, ya."

Aku hanya tersenyum dan mengangguk, lalu segera masuk dan memulai kehidupan baru bersama Adrian.

"Bu, tapi Bapak nanti kalau pulang langsung ke sini, kan?" ucap Adrian sedikit lelah.

Aku tak segera menimpali pertanyaan itu, aku pikir akan membuat diriku emosi.

"Bu, kenapa diam?"

Aku mengembuskan napas dengan kasar. "Mungkin saja pulang, kalau Bapakmu masih ingat dengan kita!" jawabku tak menghadap wajah Adrian.

Sebenarnya ada rasa kasihan, tetapi nyawaku hampir saja hilang di tangan Mas Bahar tempo lalu. Tapi, akhirnya ia juga yang berhasil aku kalahkan.

"Rapikan semua barangmu, Adrian. Ibu ingin istirahat sebentar. Oh ya, Ibu sudah memesan makanan untukmu sebentar lagi juga sampai," ucapku sembari berlalu meninggalkan Adrian yang tampak kebingungan.

"Iya, Bu."

***

Setelah tiga tahun sudah kami hidup berdua dan Adrian sudah memasuki sekolah menengah akhir sekarang sudah kelas 12.

"Bu, Bapak kenapa nggak ada kabar? Sudah tiga tahun berlalu, lho."

Aku yang tengah sibuk minum teh, menatap kening anakku itu. "Kan, Ibu sudah bilang, Bapak sudah tidak peduli lagi."

Ia tampak murung. Namun, ada gelagat aneh di diri Adrian.

"Kamu jangan pergi jauh-jauh, Adrian," ucapku padanya.

"Kenapa, Bu? Aku di sini." Adrian memang anak yang baik, walaupun aku sudah sangat keji.

"Bulan depan aku sudah harus berkuliah, Bu. Mungkin akan sedikit sibuk dan Ibu akan sendirian di rumah," ucap Adrian padaku.

Entah mengapa, hatiku sangat sakit. Mengingat dahulu aku mempunyai banyak anak dan sekarang hanya tersisa satu saja. Rasanya aku benar-benar butuh mereka di sini.

"Perut Ibu sekarang sudah sering sakit, Adrian. Entah mengapa. Ibu takut sekali, kalau tiba-tiba Ibu tumbang dan tidak ada orang di sini," ucapku merintih.

Memang benar, sudah setahun ini aku mulai merasakan beberapa gejala sakit. Tidak tahu apa sebab dari itu, terlebih sekarang aku sangat tidak suka makan.

"Ibu juga tidak nafsu makan, Adrian."

Alis Adrian menyerit, mulutnya bergetar. Aku tak tahu apa yang tengah ia pikirkan.

"Ibu cuma butuh istirahat, tapi Ibu harus makan yang banyak ya," ucap Adrian padaku.

Namun, ini benar-benar ada hal lain di diriku, seperti ada bisikan seolah-olah kejadian yang aku lalui tempo hari akan membuat karma bagiku, aku tidak menginginkannya!

Aku berusaha berpikir positif, tetapi semua hartaku hampir habis. Sedikit demi sedikit perhiasan milikku sudah aku jual untuk kebutuhan sehari-hari. Rasanya uang sebanyak itu tiba-tiba lenyap tanpa jejak.

Aku sedikit stres seperti halnya di saat bersama Mas Bahar dahulu, tentang ekonomi yang sangat sulit.

"Ibu sudah tidak punya uang lagi, Adrian. Uang Ibu sudah habis," ucapku lirih.

"Nanti Adrian bekerja, Bu. Ibu jangan khawatir."
Akhir-akhir ini badanku terasa sangat berat, kepalaku terasa pusing sering sekali mendengar teriakan 'Ibu' dari beberapa anak kecil, tetapi ketika aku mencarinya, suara itu lenyap.

Aku benar-benar membutuhkan sosok semua anakku yang sudah tiada, yang aku tumbalkan hanya untuk harta. Rasanya sangat menyesal sekali.

Apalagi sampai sekarang Bu Puji tak ada kabar, dia hilang tanpa jejak.

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang