CHAPTER 37

6.6K 445 7
                                    

Ibu semakin aneh, semenjak pindah dari rumah lama dan sekarang sudah 3 tahun di sini, gelagat Ibu tampak seperti orang linglung. Sesekali aku bertanya. Namun, ia tampak bersedih hingga sesekali melamun.

Bibirnya pucat pasi karena Ibu tak pernah ingin makan, dengan alasan masih merasa kenyang.
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Ibu punya penyakit apa selama ini?" gumamku sembari menatap Ibu yang tengah duduk santai menghadap sebuah taman kecil.

Aku mengembuskan napas dengan pelan, usiaku sekarang menginjak umur 18 tahun. Bulan depan akan memasuki dunia perkuliahan. Beruntung aku masuk jalur beasiswa, jadi aku tak perlu merepotkan Ibu.

***

"Bu." aku menyapa Ibu yang masih melamun menatap rerumputan hijau di hadapannya.

"Iya, Adrian," jawabnya lirih.

Sudah setahun terakhir sikap Ibu berubah menjadi lembut, ia tak kasar lagi terhadapku. Bapak juga tak ada kabar sama sekali.

"Ayo makan, hari ini Ibu belum makan apa-apa," ajakku pelan.

Ia menggeleng perlahan. "Ibu tidak ingin makan, sekarang Ibu kesepian Adrian."

"Kan, ada Adrian di sini, Ibu nggak kesepian."
Raut wajah Ibu berubah menjadi sangat sedih, bola matanya membendung air mata yang akan terjatuh.

"Ibu rindu adik-adikmu Adrian. Ibu ingin mereka di sini," ucapnya dengan menitikan air mata perlahan.

Aku tahu, ini memang ulah Ibu sendiri yang tega menumbalkan mereka hanya demi harta semata. Namun, di sisi lain aku tak ingin menyalahkan sepenuhnya kepada Ibu.

"Mereka sudah tenang di sana," timpalku lirih.
Namun, Ibu tampak semakin murung.

Perekonomian kami sekarang sudah sulit aku harus pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhan Ibu dan juga diriku.

***

Hari ini tepat hari pertama masuk di perkuliahanku. Aku terpaksa meninggalkan Ibu sendiri di rumah.

Ada perasaan cemas, karena setelah Ibu sering melamun sekarang ia sering mencelakai dirinya sendiri. Aku berniat untuk pulang lebih cepat hari ini juga.

Ketika sampai rumah, sepi yang menyapaku.

"Bu! Bu, Adrian sudah pulang, Ibu di mana?" Aku segera melempar tas yang berada di punggungku dan segera mengecek di dalam kamarnya.

Namun nihil, tak ada Ibu di sana.

"Ibu di mana?" gumamku.

Aku kembali berlari ke arah taman kecil yang biasa Ibu bersantai di sana, terlihat Ibu sedang duduk menyila seperti memohon sesuatu.

"Tolong kembalikan anak-anakku. Aku ingin mereka!" Itulah yang ia ucapkan, tapi entah ia meminta kepada siapa.

Pelan-pelan, aku mendekat lebih dekat agar lebih jelas apa yang Ibu sedang ucapkan.

"Tolong, hartaku sudah habis sekarang. Jadi tolong kembalikan semua anaku."
Lagi-lagi, ia memohon agar adik-adikku kembali kepadanya.

"Bu."

Ia menoleh dengan tatapan mendelik kepadaku. Tak tahu mengapa ia menjerit saat melihatku, kedua pundakku terasa sakit seperti sedang menahan beban.

"Aargh!"

Tak tahu pasti apa yang sedang terjadi di diriku, Ibu tampak ketakutan dengan kedua tangan yang menutup penuh wajahnya.

"Lepaskan, Adrian! Dia bukan mangsamu!" Ibu berkata entah kepada siapa, padahal hanyalah aku yang ada di sini.

"Ibu bicara dengan siapa? Argh!!" Aku mencoba menahan beban yang ada dipundakku, sakit sekali.

Aku mencoba membaca doa agar rasa sakitnya memudar dan menghilang, doa apa pun aku baca agar lebih mereda.

Tak berlangsung lama, rasa berat dan sakit di atas pundakku mulai memudar dan mulai hilang. Namun, keringat dingin dengan degup jantung tak beraturan masih menyertai diriku.

Ibu masih tampak ketakutan dengan raut wajah yang semakin hari semakin lesu.

"Ibu kenapa? Ibu nggak apa-apa?" Aku bertanya dengan memegang kedua pundaknya.

Ia hanya menggeleng lalu memelukku.

"Maafkan Ibu, Nak!" bisiknya padaku.

Jantungku masih berdegup sangat kencang, masih terasa sangat pegal di kedua pundakku.
"Ibu mau jujur sama kamu, tapi tolong berjanjilah pada Ibu. Jangan tinggalkan Ibu sendirian," ucapnya lirih, dengan bibir pucat pasi.

"Iya, Bu, katakanlah!"

Ia mengembus napas pelan. "Ibu yang menjadi dalang kematian adik-adikmu, Adrian. Ibu minta maaf."

Apa yang dikatakan Pak Haji Rosadi memang benar waktu tempo beberapa tahun yang lalu dan aku memang mempercayainya. Tapi, mendengar pengakuan langsung dari Ibu, rasanya berbeda. Aku merasa lebih kecewa.

Aku melepas dekapannya dan mulai menatap wajah Ibu dengan tajam. Rasanya ingin sekali meninggalkan dia sendirian di rumah ini.
"Jadi, semuanya?"

"Ya, ini semua salah Ibu. Ibu tega merenggut semua nyawa adikmu dengan cara keji. Kamu masih ingat Asih?"

Aku mengangguk dengan degup jantung yang tak karuan.

"Ya, Asih tumbal pertama. Jasad Asih sengaja Ibu buang di sungai atas dasar perintah Bu Puji," ungkapnya lagi.

Ia menunduk merasa bersalah dan malu dihadapanku.

"Ibu puji yang ...."

"Iya, Ibu puji yang mengajak hal ini kepada Ibu," ucapnya.

Air matanya tak bisa dibendung, ia menangis tersedu-sedu.

"Lalu, Bapak di mana, Bu? Kenapa Bapak tidak ada kabar sampai sekarang?" tanyaku dengan tatapan tajam padanya.

Namun, bukannya menjawab, Ibu tiba-tiba tertawa aneh.

"Bahar? Kamu tanya tentang Bahar?"

Aku menautkan kedua alisku, sementara dahiku kukernyitkan. Aku merasa ada yang tidak beres dengan Ibu, bukankah tadi ia bersedih atas semua perbuatan kejinya. Mengapa yang berbeda setelah aku bertanya tentang perihal Bapak?

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang