“Udah, aku mau merantau ke Kalimantan saja. Daripada di sini, pusing mikirin kalian semua!” teriak Bapak pagi-pagi buta seperti ini, aku terperanjat, lalu bangun.
“Ya sudah, tapi ingat, jangan pernah sekali pun berselingkuh dariku!” timpal Ibu.
“Bapak mau ke mana?” Aku berusaha menarik tangan Bapak yang akan pergi meninggalkan rumah.
“Bapak mau bekerja ke Kalimantan, kamu jaga diri baik-baik. Jaga ibumu juga. Ibu, kan, lagi hamil,” ucapnya, tak biasanya Bapak bersikap seperti ini.
Aku mengangguk dengan menelan salivaku.
“Sudah, Bapak mungkin lagi tobat, jadi dia nekat pergi!” ungkap Ibu.
“Ingat, ya, Sania. Aku bekerja bukan karena kamu, tapi karena anak-anak,” timpal Bapak.
Ibu tampak tak acuh pada perkataan Bapak.
“Bapak pergi sekarang. Kalau adik-adikmu bertanya tentang Bapak, bilang saja Bapak sedang bekerja,” ucapnya.Aku mengangguk, lalu Bapak pergi meninggalkan kami.
Entah mengapa rasanya sakit sekali ditinggal Bapak pergi jauh, rasanya air mataku ingin jatuh.
“Hei, Adrian, ngapain nangis begitu?!” Ibu menepuk pundakku.“Nggak pa-pa, Bu.”
“Bapak kayak gitu nggak perlu ditangisi, malah bagus pergi dari sini. Nanti, kalau Bapak punya uang banyak kita bisa kaya,” tambahnya lagi.
Aku hanya menghela napas, lantas langsung pergi ke kamar. Terlihat kedua adikku sudah bangun.
“Bang, ada apa, kok, ribut-ribut?” tanya Asih padaku.
“Bapak pergi merantau,” jawabku singkat.
“Bapak pergi?” sahut dari Raya.
Aku mengangguk. “Ayo mandi, sekarang waktunya sekolah.”
***
“Bu, Adrian pulang!” Aku memasuki rumah. “Hari ini Ibu masak apa?” tanyaku kepada Ibu yang tengah sibuk menimang Zaki.
“Masak? Ibu nggak ada uang, mending kamu minta ke warung Bu Inem,” ucapnya.
“Kata Ibu kita nggak boleh minta,” timpalku.
“Eh, bukan minta, tapi ngutang,” tambahnya.
“Tapi, kalau nggak boleh gimana, Bu?” tanyaku lagi.
“Pasti bolehlah. Bu Inem, kan, baik sama kamu. Tenang, Bapak lagi kerja, nanti dapet uang pasti bisa ngelunasin utangnya,” ungkapnya.
Aku menghela napas, karena diriku masih capek habis pulang sekolah.
“Sudah, jangan mengeluh, cepat ganti baju dan langsung pergi ke sana.”
Lantas, aku bergegas berganti baju dan langsung pergi.
Aku terus berjalan sendiri karena Asih belum pulang tampaknya dia ada tambahan waktu sekolah.
Dengan terik matahari yang menyengat, aku terpaksa berjalan dengan perut yang keroncongan. Jarak warung Bu Inem dan rumahku cukup jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...