Otakku kembali diliputi oleh harta, banyak sekali bisikan datang kepadaku untuk menumbalkan semua anak-anakku hanya untuk harta semata. Otak dan hatiku sudah dikuasai harta.
Hingga pada waktunya, Asih mengembuskan napas terakhirnya.
Tangisku pecah entah mengapa, padahal aku sangat membenci Asih, tak menganggap Asih ada. Namun, di saat ia benar-benar tiada, hatiku hancur.
Kami akhirnya pulang membawa jenazah Asih yang akan dikebumikan, tetapi lagi-lagi bisikan gaib menghantuiku.
“Jangan dimakamkan!” Itulah bisikan yang beberapa kali kudengar.
Jiwaku seperti menjadi dua, memilih iya atau tidak.
“Mari kita makamkan sekarang juga,” timpal Pak Haji Kasim yang sedari tadi ikut serta dalam penanganan Asih.
“Tidak, aku tidak akan memakamkannya di sini!” ucapku, sontak semua melihatku dengan tatapan yang sangat heran. Aku pun tak tahu mengapa mulutku seketika berbicara seperti ini.
“Maksud Ibu apa?” tanya Adrian padaku.
“Kamu diam, anak kecil tidak tahu apa-apa!” jawabku.
“Jadi, Asih mau dimakamkan di mana, Mbak? Jangan menunda-nunda seperti ini, kasihan jenazah Asih,” ucap salah satu warga yang ikut berkerumun di dalam rumahku.
“Aku akan membawa Asih pulang dan dimakamkan di samping makam Ibu di kampung,” ucapku.
“Kalau seperti itu, ya, tidak apa-apa. Biarlah Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Tapi, kami minta satu hal, biarkan kami yang menyalatkan jenazah Asih,” timpal Pak Haji Kasim.
“Boleh!”
Setelah jenazah Asih disalatkan, semua warga pulang ke rumah masing-masing karena mereka hanya tahu, aku akan membawa jenazah Asih pulang ke kampung halaman.
“Bu, kenapa tidak dimakamkan di sini saja? Kan, kita tinggal di sini, Bu!” ucap Adrian.
Adrian anak yang pemikirannya sudah dewasa, sampai-sampai aku sering kalah berbicara dengannya.
“Ibu akan memakamkan di sini, kamu tenang saja.”
“Maksudnya?”
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Adrian, aku langsung mencari cangkul untuk menggali kuburan Asih.
“Bu, mau ke mana?” teriak Adrian.
“Mau menguburkan Asih,” ucapku santai, seperti tak punya dosa.
“Di halaman belakang? Ibu ini sudah tidak waras atau bagaimana?” jawab Adrian.
Aku segera menghampirinya dengan penuh amarah karena ucapannya tadi.
“Tidak sopan kamu, Adrian!”
Plak!
Aku menamparnya dengan cukup keras.
“Ibu berdosa! Ibu tega! Biar aku kasih tahu ke Pak Haji Kasim!” tangisnya.
Aku segera meraih tangannya yang berusaha lari dariku.
“Dosa?! Kamu hanya anak kecil dan ini aku, ibumu! Jangan coba-coba kamu bilang ke orang lain kalau Ibu mengubur Asih di halaman belakang! Atau kamu juga ingin menyusul adikmu ini?” bisikku tepat di telinganya.
Dia terus menangis sesenggukan.
“Masuk kamar! Biar Ibu yang urus jenazah Asih dan jangan coba-coba keluar sebelum ada aba-aba dari Ibu!” Aku mendorongnya masuk ke dalam kamar bersama kedua adiknya.
Penguburan pun akan aku lakukan sekarang juga!
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...