CHAPTER 11

9.8K 588 14
                                    

Senang sekali menipu orang yang lemah iman seperti Sania ini, batinku.

"Enak, ya, Bu. Bisa kaya dadakan seperti ini," ucap Sania.

"Ya tentu, Sania, kamu tinggal ikuti perintah saya saja. Akan aku kabulkan semua permintaan kamu," ucapku untuk meyakinkan dirinya.

"Baik, Bu. Kalau begitu, saya pulang dulu, ya. Mau belanja juga, lumayan, kan."

"Iya, iya, silakan. Kalau bisa, belanja di tempat yang mewah biar orang-orang pada tahu kalau kamu sekarang menjadi orang kaya," timpalku.

Lalu, dia pergi bersama anak laki-lakinya, dan aku masuk ke dalam rumah.

"Kerja sambil rebahan, tumbalnya orang lain. Kalau kayak gini, kan, enak hidupku," gumamku.
"Bu, setop menipu orang!"

Anak lelakiku datang, dia memang tak suka dengan pekerjaanku yang seperti ini.

"Kenapa Amar? Kok, galak begitu, kan, Ibu baik sama kamu."

"Sudah berapa kali Amar bilang, kalau pekerjaan seperti ini haram, Bu," bantahnya.

"Sini, duduk. Jangan pikirkan haram atau tidak. Kamu tinggal sekolah yang rajin aja, kan, Ibu yang cari uang."

"Haram, ya, haram. Jangan menghalalkan yang haram, Bu!" Dia semakin membantah ucapanku.

"Hei, Amar! Beruntung kamu tidak Ibu tumbalkan untuk kekayaan Ibu sekarang! Beruntung kamu dulu ikut Ibu, tidak ikut dengan ayahmu!"

"Dan ingat, ya, Amar! Ayahmu dulu selingkuh dari Ibu, dia membawa semua adik-adikmu dan hanya kamu saja yang mau ikut dengan Ibu. Karena itu, Ibu tidak mau menumbalkan kamu juga!"

Aku pergi meninggalkan Amar sendiri dengan raut wajah yang amat masam.

"Kalau saja aku tidak sayang Amar, mungkin sudah aku tumbalkan dari dulu. Tapi, sekarang aku tak punya siapa-siapa, kecuali Amar," gumamku.

"Apa? Sendiri? Kamu masih punya diriku, Puji!"
Aku mencoba mencari suara itu, seperti tak asing di telingaku.

"Tuan?"

Sosok tadi jin yang membantuku, tetapi dia tak ingin menampakkan sosoknya.

"Iya, ingat selalu diriku, Puji! Aku yang telah memberi harta padamu, jangan lalai padaku."

"Ba-baik, Tuan. Maafkan aku!"

Sebenarnya ada perasaan takut kepada sosok jin ini, karena sekarang aku seorang janda aku takut sekali disetubuhi olehnya.

"Bagaimana dengan mangsaku, Puji? Apakah dia senang dengan pemberianku?" tanyanya.

"Sangat senang, Tuan. Dia juga merelakan janinnya untuk ditumbalkan. Tapi, butuh beberapa bulan lagi, Tuan," jawabku.

"Arghh. Itu sangat lama, Puji! Aku ingin anak kecil perempuan itu," ucapnya, aku bingung siapa yang jin ini maksud.

"Siapa, Tuan? Aku belum mengerti."

"Anak perempuan dari korbanmu, mungkin anak itu masih berusia 6 tahun," ungkapnya.

"Baiklah, aku mengerti, Tuan. Besok aku tanyakan kepada Sania, apakah dia bersedia untuk menumbalkan anak itu," timpalku.

"Bagus, jangan lupa nanti malam ritual seperti biasa, pemujaan untukku, agar hartamu semakin berlimpah."

Beruntung, jin ini selalu mengingatkan ritual padaku. kalau tidak, aku bisa lalai.

"Baik, Tuan."

***

"Ibu mau ritual tengah malam seperti ini."
Aku terkejut melihat Amar yang tengah berdiri tepat di depan ruangan ritualku.

"Kenapa Amar? Ini sudah menjadi hal yang wajib bagi Ibu," ucapku. "Kamu jangan ikut campur urusan Ibu, kamu tinggal enaknya aja, jangan banyak komplain," imbuhku. Tak berpikir panjang, lalu aku segera masuk kedalam ruangan ritualku dengan membawa beberapa alat untuk pemujaan.

Dengan berkomat-kamit membaca mantra, tiba-tiba sosok hitam dengan tubuh tinggi besar dengan bulu lebat yang tumbuh di tubuhnya datang tepat di hadapanku.

"Bagus, Puji! Aku sangat suka saat kamu menjalani ritual ini."

Aku menelan saliva dengan kasar. Jantungku berdegup lebih kencang serta bau tubuhnya yang sangat amat busuk sehingga mengganggu pernapasanku.

"Jangan dekat-dekat, Tuan."

"Kenapa? Kamu merasa jijik padaku?"

"Bukan begitu, Tuan. Aku tidak fokus jika tuan mendekat padaku."

"Oke, baiklah."

Aku menghela napas dengan kasar.

"Puji, aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
"Katakan saja, Tuanku."

"Aku sudah mendekati anak kecil itu. Tapi, sangat susah, dia seperti mempunyai tameng. Sania punya anak lelaki seumuran anakmu bukan?" tanyanya padaku.

"Punya, Tuan."

"Itu kendala pada diriku, iman dia kepada Tuhan sangat kuat. Aku sangat sulit untuk mendekati anak itu."

"Jadi, kemungkinan besar anak lelaki itu sulit untuk ditumbalkan?" tanyaku dengan penuh penasaran.

"Iya, benar. Aku tidak bisa mengendalikan diriku saat dia mulai mendekati adiknya. Energiku berkurang, dia punya pendirian iman yang benar-benar kuat, tidak seperti ibunya."

"Yang aku takutkan, dia akan menyelamatkan adiknya dan ini akan menjadi bumerang bagi kita, Puji."

"Maksud Tuan, apa? Katakan secara rinci, Tuan. Aku belum mengerti."

"Dia perlahan bisa memusnahkan kita, Puji. Kalau bisa, beri tahu Sania, jangan sampai anak lelaki tahu tentang kerja ini," ucapnya.

Diriku semakin ketar-ketir saat tuan jin memberitahuku seperti ini.

"Bukan hanya membinasakan diriku, tapi akan membinasakan semua hartamu. Semakin hari, kekuatan iman anak lelaki itu semakin tinggi."

"Puji, sampaikan kepada Sania, jangan sesekali anak lelaki itu dekat dengan orang alim atau orang yang taat kepada Tuhan. Ini akan menyulitkan diriku."

Baru kali ini aku mendapati kendala seperti ini, bagaimana bisa bocah kecil itu akan memusnahkan semua hartaku? Ini tidak bisa aku biarkan!

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang