"Aku tidak mengizinkan siapapun mengganggu proses pengobatan pasien di bawah pengawasan ku. Tidak boleh ada yang bisa keluar masuk seenaknya tanpa izin dariku, bahkan keluarga sekalipun. Jika kalian keberatan, silahkan cari dokter lain."
Pria mungil berasal dari tirai bambu itu menatap sangsi kepada orang yang membuatnya murka pagi ini. Bagaimana tidak, pasiennya hampir saja meninggal karena ulah orang tak bertanggung jawab ini.
"Maafkan atas keteledoran istri saya. Saya janji ini tidak akan pernah terjadi lagi."
Siapa yang bisa menolak dokter muda yang digadang-gadang bisa menyembuhkan pasien yang berada dalam pengawasannya. Persentase bahkan bisa 95%.
"Memang harus. Jika tidak, putra Anda sudah dipanggil Tuhan."
"Sekali lagi maafkan istri saya."
"Yang seharusnya minta maaf itu istri Anda, Tuan Nakamoto, bukan Anda. Oh satu lagi, singkirkan semua CCTV yang istri Anda pasang di ruangan pasien saya itu hari ini juga."
"Apa? CCTV?"
"Wah, Anda tidak tahu? Hm, konspirasi macam apa ini, Nyonya Nakamoto?"
"Aku, aku, hanya ingin memantau keadaan Jaemin. Iya, cuma itu kok." Jelasnya sedikit terbata-bata.
"Saya tidak perduli dengan alasan Anda. Berhenti mengganggu proses pengobatan pasien saya. Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan Nakamoto."
"Ah, iya. Sekali lagi terima kasih sudah menolong putra saya, Dokter Renjun."
Renjun ngangguk kemudian meninggalkan pasangan suami istri yang masih terdiam ditempat.
^_________^
"Bagaimana? Ada yang tidak nyaman?"
"Sudah baik. Gila saja aku hampir mati gara-gara anjing penjilat itu."
"Sabar, Minggu depan mereka pasti kebakaran jenggot."
"Kenapa tidak besok saja sih? Aku lelah tiduran begini, apalagi mendengar tawa kurang ajar mereka."
"Tenang saja, mereka tidak akan bisa masuk lagi sampai Minggu depan."
"CCTV?"
"Sudah diretas."
"Kau memang sahabat terbaikku, Njun~"
"Dih! Ada maunya memuji begitu."
"Hehehe ...."
"Jeno akan berkunjung sebentar lagi, awas ketahuan kalau kau sudah sadar!" Renjun menunjuk wajah Jaemin yang masih senyum-senyum tidak jelas.
"Jangan galak-galak, nanti Guanlin cari istri baru."
"Heh!"
^_________^
"Aku rasa istri kedua Nakamoto menyimpan banyak hal dibelakang keluarga Nakamoto."
"Banarkah?"
"Hm, kau harus teliti apalagi menyangkut calon istri kamu. Aku sebagai kakak ipar cuma bisa mengingatkan."
"Terima kasih, Kak Ipar."
"Sama-sama. Jeno, berhenti sebentar di minimarket ya, aku ingin beli susu."
"Hm."
Haechan mengotak atik ponselnya sesekali terkekeh. Jeno yakin pasti kakaknya itu tengah berbicara hal aneh sampai kakak iparnya jadi begitu. Walaupun Jeno akui mereka berempat sedikit irit bicara, kadang juga terkesan dingin, tapi untung saja hal itu tidak mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Yah, Jeno bisa melihat dari saudaranya yang sudah menikah serta orangtuanya sendiri pastinya.
"Susu apa? Biar aku yang beli" Jeno memarkirkan mobilnya di depan minimarket.
"Aku mau ikut."
"Tidak usah."
"Tapi ..., tapi, ini keinginan adik bayi." Haechan berucap pelan, kepalanya menunduk melihat perutnya yang bergerak-gerak ulah si bayi di dalam sana.
"Baiklah." Jeno mengalah.
Jeno berjalan di belakang membiarkan kakak iparnya berjalan di depannya. Walaupun harus bersabar karena jalannya lamban sekali.
"Nah, itu dia! Jeno, tolong ambilkan yang rasa vanilla." Tunjuk Haechan ke rak yang paling atas.
"Berapa?"
"Eum," Haechan berpikir sebentar, "empat kotak saja."
DUK
sret
Rasanya jantung Jeno mau lepas dari tempatnya. Untung saja refleksnya bagus. Kalau tidak, bagaimana nasib kakak ipar sama calon keponakannya ini.
"Di mana mata Anda? Tidak lihat ada orang berdiri di sini?" Geram Jeno marah.
"Maaf, aku sedang buru-buru." Ia berkata cepat.
Sret!
Jeno mencengkeram lengan seorang lelaki yang tampak tidak punya rasa bersalah ketika dirinya hampir membuat ibu hamil jatuh.
"Jeno sudah, aku tidak apa-apa kok." Haechan mengusap lengan Jeno untuk meredam emosi adik iparnya itu. Lihat, lengan penuh ototnya meremas tangan orang itu yang sudah meringis kesakitan.
"Kembalikan atau ku patahkan tangan kotor kau!" Ancam Jeno penuh penekanan.
"Ini ambil-ambil!"
Jeno melepaskan cengkeramannya membuat lelaki itu segera berlari menjauh.
"Gelangnya putus. Minta kak Mark membenarkan." Ucap Jeno.
"Iya, Jeno."
"Ada yang sakit?"
"Tidak ada."
"Ayo pergi."
Jeno menggandeng lengan Haechan takut-takut kejadian barusan terulang lagi. Mereka berdua berjalan menuju kasir. Sampai sana bukan cuma membayar, tapi Jeno memberi peringatan kepada pegawai minimarket meminta agar atasannya lebih memperhatikan keamanan pengunjungnya.
Ini, ini yang Haechan serta menantu Jung lainnya tidak pernah keberatan berada ditengah-tengah orang-orang berhati dingin seperti suaminya sekalipun. Mereka, keluarga Jung sangat amat menjaga orang terkasih mereka.
Mungkin saja orang-orang mengira kalau dia dan Jeno adalah pasangan suami istri karena perhatian yang Jeno berikan padanya. Sungguh, Haechan sudah sangat menunggu Jaemin untuk bergabung dalam ruang lingkup keluarga Jung.
^_________^
"Njun~" Haechan menghampiri Renjun yang tengah mengerjakan sesuatu di sofa dalam ruang rawat Jaemin.
"Hari ini jadwal USG?" Tanya Renjun.
Haechan ngangguk, "nih ...." menyodorkan sekotak susu yang sengaja Haechan sisakan untuk Renjun.
"Bagaimana keadaan Jaemin?"
"Semua sudah stabil. Semoga dalam waktu dekat Jaemin segera siuman."
Jeno memperhatikan, Jaemin memang sudah jauh terlihat lebih baik semenjak pengobatannya diambil alih oleh Renjun. Adik iparnya itu memang hebat. Jeno akui itu.
"Aku mengantar Haechan ke tempat kak Mark dulu." Renjun berbicara kepada Jeno.
"Hm."
Jeno duduk di dekat Jaemin, menarik sebelah tangan Jaemin ke dalam genggamannya. Sungguh, Jeno akui, dari pertemuan pertama mereka Jeno sudah tertarik kepada pemuda dihadapannya ini. Walaupun pada awalnya Jeno menolak mentah-mentah soal perjodohan yang daddynya setujui tanpa berbicara dulu padanya.
"Bangunlah Nakamoto Jaemin. Sebagai pewaris tunggal kau harus terlihat tangguh."
^_________^
KAMU SEDANG MEMBACA
Nakamoto Jaemin
Fanfiction(Tahap Revisi) "Anjing penjilat diantara orang-orang berhati bak malaikat." -- Jaemin. Fokus momen setiap pasangan akan berada di chapter 'Menantu Jung'.