Kalau tidak salah mengingat, Namjoon sebenarnya sempat penasaran dan mencari tahu siapa itu Saha Saadet Lim sampai bisa mengenalnya dengan baik dalam ingatan. Musim panas lima tahun lalu ketika Namjoon masih seorang mahasiswa yang disibukkan mengejar deadline tugas akhir disamping harus bekerja sebagai asisten profesor, ia diperkenalkan oleh Prof. Eunho kepada Lim Shaolin.
Nyaris tiga tahun, Namjoon hanya mendengar nama Lim Shaolin dari mulut banyak orang tanpa pernah bertemu. Itu pun sesekali Namjoon pernah melihat wajahnya ketika muncul di sampul majalah atau berita televisi mengenai bisnis. Meski sudah terdengar akrab hanya dengan namanya, tidak bisa disangkal bahwa Namjoon gugup bukan kepalang saat sukses menekan bel rumah Shaolin bak kastel untuk pertama kali.
Tidak butuh lama seseorang membukakan pintu karena Namjoon telah membuat janji. Ia langsung diantar masuk oleh seorang asisten rumah tangga sebelum menyuruh Namjoon menunggu di ruang tengah yang nyaris seluas taman bermain. Dalam diam, Namjoon mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan tersebut. Terdapat beberapa lukisan mahal menjadi pemanis dinding. Salah satunya lukisan abstrak karya Willem de Kooning.
Di lain sisi ada banyak furnitur yang tidak akan pernah Namjoon pikirkan untuk menyentuhnya. Sudah dipastikan harganya pasti melebihi biaya hidupnya selama ini. Kendati ada satu hal yang membuat Namjoon cukup terkejut saat menemukan sebuah foto besar terpajang dihadapannya. Di sana terdapat seorang wanita memakai toga bersama Shaolin tengah tersenyum bahagia. Namjoon ingat wanita itu sering ia lihat di kelas umum setiap Sabtu sore.
"Kim Namjoon?" Sosok Shaolin muncul tanpa diduga sontak membuat Namjoon bangkit berdiri sekedar menyambut dan memberi sapa sebelum dipersilahkan duduk kembali, "Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Aku sudah dengar banyak hal tentang dirimu."
Tersenyum kikuk, Namjoon membalas, "Saya juga sering mendengar tentang Anda, Tuan Lim dan juga sangat berterima kasih atas semua bantuanmu."
"Kau memang pantas menerimanya." Shaolin mengibaskan tangannya di udara sekali, memberi isyarat agar Namjoon tidak perlu segan, "Bagaimana dengan kuliahmu? Kudengar kau akan segera lulus?"
"Ya, rencana bulan depan saya akan sidang skripsi."
"Setelah lulus, kau tertarik untuk lanjut studi lagi?"
Namjoon menggaruk tengkuknya, merasa bingung. "Saya belum memikirkannya. Tapi jika ada kesempatan saya akan coba."
"Selesaikan sampai jenjang profesor, aku siap membantu. Ibumu bilang kau ingin menjadi seorang profesor, bukan?"
"Hmmm ... mungkin bisa dibilang kewajiban saya."
"Kenapa?" Shaolin mengernyit bingung. "Kenapa kau bicara begitu? Apa aku salah?"
"Oh—tidak, bukan begitu. Ibu yang sebenarnya merekomendasikan agar saya menjadi seorang profesor atau setidaknya pegawai negeri. Keinginan semua orang tua pada umumnya, bukan?"
"Jadi kau hanya menuruti keinginan ibumu?" Shaolin mengangguk pelan sebanyak tiga kali mencoba memahami. "Lalu apa sebenarnya keinginanmu?"
"Tidak begitu besar dan tidak masuk akal juga bila didengar."
"Tidak apa-apa, katakan saja. Semua orang berhak memiliki keinginan dan mimpinya sendiri, bukan?"
Namjoon mengangguk pelan, dalam hati membenarkan juga apa yang dikatakan Shaolin. Ia pun mengulum bibirnya sebelum berucap pelan, "Menjadi ... produser musik? Ah ... tapi Tuan Kim jangan anggap serius. Itu hanya impian seorang remaja labil."
"Kenapa tidak masuk akal?" Shaolin nampak tidak setuju. "Bahkan ada temanku yang lulus sebagai sarjana filsafat kini malah mempunyai label rekaman musik sekaligus menjadi komposer. Bila kau memang tertarik, lain kali akan aku kenalkan kau dengannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece Of Your Happiness
FanfictionSTATUS : ON GOING Pernikahannya yang dipaksakan membuat Namjoon semakin menunjukkan sisi dirinya yang sebenarnya. Ia berpikir dengan begitu Saha akan menyerah dan menceraikannya. Namun pada kenyataannya semakin Namjoon membuat Saha terluka lebih dal...