FOUR

62 8 0
                                    

Hari demi hari berlalu. Hal yang Luke damba-dambakan akhirnya terjadi. Hari di mana Sharon mulai membuka pintu hatinya untuk pria tersebut. Kini, bisa dibilang komunikasi yang Luke jalin bersama Sharon masuk kategori lancar. Pendekatan yang pria itu lakukan sejak mereka bertunangan, mampu menghapus dinding jarak yang sengaja Sharon bangun untuknya dulu. Sharon bahkan ikut aktif saat menjalin komunikasi dengan Luke. Bila biasanya wanita itu akan lebih banyak diam, meski sesekali Luke masih perlu memancing kelanjutan obrolan mereka, setidaknya kini Sharon bersedia memberi penjelasan juga bila ditanya.

Hampir setiap dua hari sekali, Luke akan mendatangi kediaman Sharon. Menatap lama wajah cantiknya, menyimpannya baik-baik ke dalam memori otak. Agar tetap hidup dengan leluasa di dalam sana. Seperti di tengah malam ini.

"Sudah selesai?"

"Maaf, aku baru bisa menemuimu di jam selarut ini..." Luke menyampaikan maafnya untuk Sharon yang terlihat sudah mengenakan piyama tidur.

"Tak apa. Aku sudah tahu. Jadwal pulang seorang dokter itu tidak bisa dipastikan. Sama seperti Papa yang bahkan selalu pulang saat aku akan berangkat ke sekolah..." Sharon menyimpan mantel yang Luke pakai malam itu di lemari penyimpanan mantel dekat pintu masuk.

Benar, kan? Jawaban yang Sharon berikan untuk Luke sudah selalu lebih dari sepuluh kata.

"Masakan apa yang kau buat hari ini tadi?" Luke mengikuti langkah unik Sharon di belakangnya.

Sudahkah Luke menyinggungnya juga?

Sharon terlihat anggun dan kalem, tapi saat wanita itu berjalan, cara berjalannya terkadang cukup unik. Luke akan menggambarkannya seperti cara berjalan seekor pinguin. Sharon jadi terlihat tidak hanya cantik, anggun dan kalem di mata pria tampan itu. Tapi juga menggemaskan. Luke semakin jatuh ke dalam pesonanya.

"Rose pasta."

"Kedengarannya enak."

Sharon tiba-tiba berhenti berjalan dan berbalik menghadap ke arah Luke. "Kau belum makan?" tanyanya dengan wajah menyelidik.

"Belum..." Luke tersenyum seraya mengangguk malu. Meski ia tahu kecil kemungkinan Sharon akan berbagi hasil masakannya, tapi tunangannya itu memang sedang giat-giatnya belajar masak sebulan ini.

Semua berkat ide dari Luke sendiri. Ia yang menyarankan agar Sharon kembali menekuni dunia memasak. Ia ingat bahwa sebelumnya memasak adalah salah satu hobi wanita cantik itu sedari dulu. Akan selalu ada ketertarikan di sana, hanya saja semua itu terkesampingkan ketika dunia balet profesional yang Sharon geluti, mulai menyita banyak waktu.

"Astaga... Aku tidak menyisakannya untukmu, maaf..." Sharon terdengar sangat menyesal. Dan tulus.

Membuat jantung Luke berdebar menyenangkan meski sekilas.

"Tadi..." Sharon melanjutkan penjelasannya, "Aku kedatangan seorang teman, jadi aku menjamunya dengan masakanku itu. Sebelumnya saat kuhubungi nomormu, tidak aktif. Kukira kau sedang dalam situasi darurat yang tidak bisa diganggu, jadi kuasumsikan kau tidak akan kemari malam ini."

"Tak apa, Sharon, sungguh. Aku kemari hanya untuk..." Luke menggantung kalimatnya. Ia tahu, kalimat lanjutannya itu bisa saja mengubah suasana nyaman yang mulai tercipta, menjadi canggung.

Luke menawarkan sebuah pertemanan kepada wanita cantik itu di hari mereka bertunangan. Meski pada akhirnya mereka pasti tahu akan berujung ke mana sebuah pertemanan tersebut, Luke hanya tak ingin merasa terlalu terburu-buru. Ia paham ia harus memberikan Sharon waktu. Walau ia juga sangat sadar dengan perasaannya sendiri pada wanita yang telah menjadi tunangannya selama sebulan ini.

Luke and SharonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang