ELEVEN

60 5 0
                                    

"Dad," Lauren memanggil Luke. Pria yang tengah terbaring lemah di sofa ruang tamu rumah mereka.

Luke terlihat enggan membuka kedua mata sipitnya. Hanya untuk menemukan Lauren, sang putri, yang sudah berdiri di hadapannya lengkap dengan sebuah nampan berisi sarapan pagi.

"Oh, thank you, Sweetheart..." gumam Luke lagi. Mau tak mau, pria paruh baya itu bangkit dari tidurnya dan duduk. Bersiap menerima nampan dari Lauren.

"How's your sleep?" Lauren menyerahkan nampan seraya ikut duduk di samping ayahnya.

"Great, thank you." Luke menatap sebentar ke arah sang putri cantik, kemudian mulai mengambil sesendok bubur yang sudah Lauren masak untuknya.

"Don't lie to me, Dad, please."

Luke tidak jadi memasukkan bubur ke dalam mulutnya. Alisnya terangkat satu seiring nampan berisi semangkok bubur dan segelas air minum yang ia letakkan di atas meja dekat sofa.

Tatapan menghakimi yang Lauren berikan untuknya, sudah cukup menegaskan bahwa sang putri sepertinya terlanjur mengetahui rahasia kecil miliknya.

"Maaf, Sayang, Aku tak mengerti yang kau katakan..." Luke menjawab dengan sangat tenang. Menyangkal terlebih dahulu selagi bisa.

Lauren melipat kedua tangannya di dada. Masih dengan tatapan menghakimi itu.

"Kau yakin tidak paham maksud pertanyaanku?"

Luke menggeleng. Ia harus membuktikan diri bahwa ia tak berdosa di sini. Sayang, Lauren kemudian terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

"Kenapa aku menemukan pil-pil anti depresan dan obat tidur ini di dalam tong sampah?"

Wajah Luke memucat.

"Kau sama sekali tidak mengonsumsi obat-obatan yang telah diresepkan oleh Dokter Ikeda, kan?"

Luke tidak menjawab. Ia memilih menunduk dalam diam. Tapi kedua bola mata sipitnya yang terlihat tidak fokus di pandangan Lauren, sudah membuktikan bahwa pria paruh baya tampan itu mulai panik. Sekaligus mungkin tengah berusaha mengatur berbagai alasan untuk menjawab pertanyaan dari sang putri sendiri.

"Dan juga..." Lauren menambahkan, "Itu alasan kenapa Daddy lebih memilih untuk tidur di ruang tamu, kan? Karena takut suara mengigau saat bermimpi buruk tadi malam akan membangunkanku sehingga aku bisa mengetahui semua rahasia kecil ini, Dad?"

Luke semakin mengelak menatap wajah Lauren. Ia berpaling muka saat Lauren berusaha menatap matanya.

"Well..." ujar gadis itu lagi setelah terdengar hela nafas kasar, "Untung saja aku pulang dan mendapati semua kebenaran tentangmu seperti ini."

"Lauren, tunggu!" Luke berusaha menghentikan putrinya yang sudah bangkit dan terlihat akan pergi menjauh. Pria itu ikut bangkit.

Lauren berbalik guna menatap tajam ke arah ayahnya sendiri.

"Dengarkan penjelasanku dulu, oke?" Luke memohon.

Tapi Lauren justru mendengus. "Aku tidak butuh penjelasan apa-apa lagi, Dad!" ujar gadis itu lagi, "Ini sudah lebih dari cukup untukku. Aku berhenti dari akademi balet kemudian menetap di sini bersamamu selamanya."

"Jangan, Lauren! Kau tidak bisa melakukannya untukku! Ini bukanlah yang kuinginkan darimu!"

"Terlambat, Dad!" Lauren berseru cukup lantang dari posisinya berdiri, "Kau bersikap seolah tidak membutuhkan bantuan, tapi yang terjadi malah sebaliknya! Daddy sangat memerlukan bantuan! Dan akulah yang akan membantumu mulai hari ini dan seterusnya, oke?! Jadi, berhentilah menjauhkanku darimu!"

Luke and SharonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang