TWELVE

57 5 0
                                    

"Hai," Luke menyapa wanita yang tengah berdiri seorang diri sembari termenung memandangi langit gelap di atas.

"Hai..." balas Sharon seraya tersenyum ke arah pria yang kini telah memeluk tubuhnya dari belakang. Berbagi kehangatan di antara gelap dan dinginnya malam.

"Apa yang kau lakukan? Mengapa tidak menemaniku tidur di dalam?" Luke menopangkan dagunya di atas bahu kiri Sharon. Menghirup tipis-tipis aroma tubuh istri cantik yang selalu mencandu pikirannya.

Hembus nafas hangat Luke justru dirasakan sedikit menggelitik area telinga dan ceruk leher wanita cantik tersebut. Sharon sampai sedikit berjengit menahan perasaannya. Ia berusaha mengalihkan dengan menumpukan kedua tangan di atas tangan Luke yang sudah melingkari erat pinggang rampingnya.

"Aku hanya sedang merindukan Lauren..." bisik Sharon seraya membelai lembut salah satu punggung tangan sang suami.

"Aku juga sangat merindukannya, Sayang..." Pria tampan itu rupanya juga merasakan hal yang sama dengan Sharon.

Sharon menghela nafas.

"Hei," panggil Luke meminta atensi istrinya, "Bagaimana jika kita mengunjungi asramanya? Menurutmu ia akan merasa malu pada kawan-kawannya saat kita berdua tiba-tiba sudah berada di sana?"

Sharon terkekeh membayangkan reaksi sang putri. Benar juga pemikiran Luke itu. Lauren putri mereka ini sedang masuk tahap membangun imej di mana ia telah dewasa dan mandiri di hadapan kawan-kawannya. Jadi ia tidak membutuhkan bantuan dari orang dewasa lain, seperti kedua orang tuanya sendiri sekalipun. Kemunculan Luke dan Sharon yang sebenarnya ingin berkunjung karena terlalu merindukan putri mereka, bisa menjadi bahan untuk menghancurkan imej mandiri Lauren. Itu sebabnya gadis itu akan selalu menekankan bahwa ia baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semuanya berjalan sesuai rencana impiannya selama ini.

Sharon masih ingat betul hari di mana ia menemani Lauren untuk terakhir kalinya sebelum bertolak kembali ke San Antonio. Lauren seolah berusaha begitu keras menunjukkan pada Sharon bahwa gadis cantik nan cerdas itu akan sangat baik-baik saja tanpa pengawasan Luke dan Sharon. Karena ia sudah sangat mandiri. Ia bisa mengatur dirinya sendiri untuk bangun lebih awal, membersihkan diri, memasak secara sederhana tapi tetap sehat, bersiap-siap, kemudian pergi menuju kelas dengan berjalan kaki. Sepulang dari kelaspun, Lauren akan mampir sebentar ke sebuah supermarket di seberang gedung akademinya untuk membeli bahan makanan atau hal-hal yang ia butuhkan. Kemudian ia akan langsung pulang menuju asrama, membersihkan diri, belajar sebentar atau mengerjakan tugas hingga waktu tidurnya tiba.

Selama Sharon temani, rutinitas tersebut Lauren lakukan secara tekun. Hingga menimbulkan kepercayaan di diri Sharon untuk sang putri. Lauren ia nyatakan siap hidup mandiri demi mendapatkan ilmu untuk hal yang menjadi hasratnya sejak kecil.

Balet.

Sama seperti yang pernah Sharon tekuni dulu sebelum mimpi buruknya menjadi nyata hingga menimbulkan trauma berkelanjutan seperti ini.

Trauma.

Benar juga. Jantung Sharon tiba-tiba berdetak cepat. Ia teringat pada sosok Gavin yang sudah lama ia lupakan! Bagaimana bila pria itu diam-diam juga mengintai putrinya hingga ke negeri seberang sana?? Pikiran pria itu sudah gila dan begitu terobsesi pada Sharon serta segala hal yang berhubungan dengannya. Pikiran Sharon langsung kalang kabut lagi. Hal ini tak luput dari pengamatan Luke.

"Sharon?"

Sharon tak bisa mendengar suara lembut Luke. Pikirannya menerawang jauh ke bayangan paling menakutkan yang paling ingin ia hindari.

"Darling?"

Tiba-tiba, Sharon menghentak kedua lengannya hingga pelukan Luke terlepas dan wanita itu segera berlari masuk ke dalam.

Luke and SharonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang