Matahari perlahan tenggelam, memancarkan cahaya jingga di langit kota. Pemandangan itu terlihat jelas dari jendela ruang rawat di lantai 5 rumah sakit Hamdang. Alih-alih menikmati pemandangan sore, Jimin masih saja memperhatikan Namkyung yang menceritakan kisah masa lalunya sejak setengah jam yang lalu. Cerita itu seperti roller coaster yang membuat Jimin bahagia, tertawa, bersyukur, namun di kesempatan lainnya membuat hatinya teriris dan menangis.Namkyung terbaring di ranjang yang sudah dinaikkan sekitar 45 derajat, sehingga ia bisa mengobrol dengan nyaman. Sebelumnya, Seokjin menyuruh pria itu untuk banyak istirahat karena masih dalam masa pemulihan pasca operasi, tapi tentu saja ia memaksa karena ada hal penting yang harus ia sampaikan pada Jimin. Kini di ruangan itu hanya ada mereka berdua, Seokjin memberikan mereka ruang untuk mengobrol empat mata.
"Kalau boleh jujur, itu adalah pilihan terberat dalam hidupku. Mungkin untuk eomma-mu juga. Tapi dengan kehadiranmu, aku tahu sebenarnya ia telah berbahagia," ujar Namkyung, memberikan kesimpulan pada cerita yang telah disampaikannya. Ia memperhatikan paras wajah Jimin, sekali lagi mengingatkannya pada Shinji. Ia pun mengacak rambut Jimin, begitu sayang padanya.
"Kau tidak apa-apa dengan hal itu? Bahkan kau tidak merasakan kebahagiaan bersamanya," sanggah Jimin sambil mengenyahkan tangan Namkyung dari kepalanya secara perlahan.
"Tentu saja tak jadi masalah. Aku tetap bisa bersamanya, mengobrol seperti biasa, berbagi suka duka, dan mendiskusikan hasil kerja kami. Oh iya, di usiamu yang ke-12 tahun. Kau ikut ke tempat kerja ibumu. Di sanalah pertama kalinya kita bertemu. Aku masih mahasiswa S3 saat itu, jadi kita sangat mudah dekat. Aku pun pernah membantu temanmu, kalau tidak salah... namanya Kim Taehyung. Kau yang memohon padaku untuk membantunya."
Mendengar cerita itu dan nama Taehyung yang disebut, Jimin langsung mengerutkan keningnya kebingungan. "Tunggu dulu.... Aku tidak ingat pernah bertemu denganmu sebelumnya. Kenapa kau tahu Taehyung? Aku baru mengenalnya tahun lalu, dan aku baru saja mengenalmu."
Namkyung menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. Wajahnya berubah makin serius. "Ini adalah kebenarannya, Jimin-ah. Kuharap kau siap mendengarkan ini."
"Apapun itu, aku akan mendengarkannya," ucap Jimin, sama-sama masuk ke mode lebih serius.
"Tepat sebelum pernikahan kedua orang tuamu, aku menemukan sebuah fakta bahwa Park Minsoo bukanlah bagian dari organisasi X, melainkan kepala keluarga Kim dari perusahaan Denki, ayah dari sahabatmu itulah yang terlibat."
"Taehyung anak petinggi perusahaan? Apakah mereka dalang dari penculikanku dan semua hal yang terjadi hingga saat ini?" tanya pemuda itu.
Sebetulnya Jimin tidak begitu mengerti dengan dunia gelap per-bisnis-an. Yang lelaki itu ketahui, dari kelas teri sampai kelas kakap pasti ada saja orang jahat yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Bahkan sampai menghalalkan segala cara untuk melancarakan aksi mereka. Kejahatan itupun sudah ia rasakan sekarang. Dan mengenai fakta bahwa keluarga Taehyung adalah otak dari segala kejahatan yang terjadi, ia masih tidak percaya akan hal itu.
"Ya, benar. Tuan Kim memanfaatkan kerja samanya dengan perusahaan CMC untuk menargetkan Shinji yang sedari dulu penelitiannya menarik perhatian mereka. Park Minsoo hanya dijadikan boneka mereka sampai ia naik jabatan menjadi CEO dan mengetahui kebusukan mereka. Beberapa tahun setelahnya, kedua petinggi perusahaan itu menjadi rival dan memutuskan kerja sama. Mereka menyimpan dendam pada ayahmu dan terus berusaha menyaingi CMC sekaligus merebut penemuan eomma-mu."
Jimin masih melongo sampai-sampai lupa untuk berkedip.
"Lalu apa maksudnya kau membantu Taehyung dan pertemuan kita yang tidak pernah kuingat?""Itu...." Suara Namkyung tercekat. Ia berpikir dua kali bahkan sudah ia pikirkan ribuan kali sejak lama, apakah ia harus mengakui dosanya atau tidak.
Namkyung meraih tangan Jimin, kemudian menggenggamnya kuat-kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Waves of Freedom 2: Young's Freedom [BTS Fanfiction]
Fanfic[On Going] Kini Jimin telah meraih kebebasannya dari penjara yang ia sebut 'rumah'. Namun kenyataannya kehidupan di luar sana tidak seindah yang ia kira. Begitu banyak rintangan yang menghadang juga kebenaran yang belum terungkap. Apakah memang ini...