4. Mysterious Butler

1.1K 110 15
                                    

"Eomma, apakah aku berdosa jika tidak memiliki teman?"

"Tentu saja."

"Eh? Kenapa? Apakah seburuk itu?"

"Hahahahaha, Jimin-ah. Kau sendiri kenapa menanyakan hal seperti itu?"

"Huum..." Jimin menggeleng.
"Aku hanya bertanya saja." Ia mengerucutkan bibirnya.

"Ada apa?"

"Tidak, eomma..."
.
.
.

"Hanya saja...
Aku tidak tau bagaimana caranya berteman."

"Kalau begitu, eomma yang akan menjadi temanmu. Ne?"

.
.
.
.
.

Cahaya terang membangunkan Jimin dari tidurnya. Saat terbangun, wajahnya basah karena cucuran air mata. Ia mengerjapkan mata sejenak sambil mengumpulkan nyawa. Disapunya air mata itu dengan perasaan sesak di dada.

Akhir-akhir ini Jimin selalu bermimpi aneh tentang ibunya. Aneh, mimpi itu seperti kenyataan. Seperti kenangan yang pernah hilang, dan dekapan itu juga terasa hangat. Bahkan ketika ia telah terbangun dari tidurnya kehangatan itu masih terasa. Seakan-akan sosok wanita itu ada di sana, mendekapnya saat itu juga.

Setelah bisa membuka matanya dengan sempurna. Ia terperanjat kaget.

"Ini... di mana?" gumamnya.
Ia memijit-mijit kepalanya perlahan.
Jimin baru sadar kepalanya pusing, terasa berdenyut-denyut.

Ah benar, ia baru ingat telah dibawa sekumpulan orang tidak dikenal. Seseorang membekapnya dengan obat bius hingga tak sadarkan diri.

"Jangan-jangan..."
Ia segera melempar selimut yang membalut tubuhnya. Syukurlah ia masih mengenakan seragam sekolah tanpa kurang satu apapun.

Jimin kembali memperhatikan ruangan itu, tampak seperti sebuah kamar, bukan gudang tua yang biasa dipakai para penjahat untuk menyekap sanderanya. Ruangan yang hangat dengan dekorasi khas Eropa dan ranjang empuk dan besar.

Jimin menapakkan kakinya menuruni ranjang, langsung menyentuh karpet beludru cokelat yang sangat lembut. Lelaki itu kembali mengedarkan pandangannya. Ia begitu terpukau dengan perabotan yang ada di sana. Bahkan ranjang yang dipakainya tadi bisa diisi oleh tiga atau lima orang sekaligus karena saking besarnya. Dengan langkah terhuyung ia segera mendekati salah satu pintu yang ada di kamar itu.

Baru saja ia hendak membukanya, pintu itu terbuka hingga membuat jimin tersungkur ke belakang.
Dengan sigap seseorang memegangi tubuhnya sebelum sampai menubruk lantai.

"Anda tidak apa-apa, Tuan?" Suara itu datang dari orang yang menyelamatkannya.

"A-aku tidak apa-apa." Ia segera berdiri tegap, meyakinkan orang itu bahwa ia baik-baik saja.

Kedua netra Jimin menangkap sosok pria bertubuh tinggi dan berpakaian rapi. Tubuhnya ramping dengan dada membidang. Ia mengenakan kemeja hitam dibalut rompi berwarna putih dan di sakunya ada sebuah bunga mawar berwarna merah darah. Pakaiannya sangat selaras dengan tema dari rumah itu. Hangat, tapi meninggalkan kesan misterius.

Jimin jadi kembali berpikir, jika ia sedang diculik, kenapa ia tidak mendapat perlakuan layaknya seorang sandera di film-film?

"Tuan, benar kau tak apa-apa?" tanya orang itu lagi, saat melihat Jimin melamun sejak tadi.

"Iya aku tak apa. Maaf, tapi... kau ini siapa? Aku ada di mana?"

"Oh benar, sebaiknya saya memperkenalkan diri. Anda bisa memanggil saya Philip, saya yang akan melayani Anda selama berada di sini. Untuk lebih jelasnya, Anda bisa menanyakan sendiri pada Tuan Kim. Kebetulan Tuan Kim baru saja datang."

The Waves of Freedom 2: Young's Freedom [BTS Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang