12. Penjelasan Luna

16 2 0
                                    

Patah tumbuh hilang berganti. Satu cinta yang patah, maka cinta yang lainnya datang merekah.

Andaikan bisa memutar waktu, aku tidak ingin memendam rasa begitu dalam dan sangat lama seperti ini. Aku mencoba mengubur perasaan, karena aku yakin setelah ini jalan akan semakin terang. Dari badai penantian, patah berulang-ulang, akan datang cinta yang lebih besar. Namun, sayang, aku sepertinya butuh waktu lama untuk memulihkan perasaan. Agar bayang-bayang kekecewaan kepada Nuril bisa hilang seiring waktu berjalan.

Lama aku memandangi wajah, berdialog sendiri di hadapan cermin yang memantulkan wajahku begitu lekat. Wajahku lebih mewariskan kecantikan bunda. Hidung bangir, dua mata bulat dengan bulu mata lentik, dan berkulit putih. Aku tidak sedang mendiskripsikan kecantikan perempuan dari warna kulit atau bentuk fisik lainnya. Hanya bersyukur kepada Allah yang telah menciptakanku dengan sebaik-baiknya rupa.

Aku khawatir Allah akan menjauhkanku dengan rahmat-Nya, karena sejak mengetahui Nuril akan menikah aku tidak lagi berselera makan. Hanya makan beberapa suap untuk mengganjal perut. Semata-mata agar bisa kuat mengajar di hadapan anak-anak surga yang menyejukkan mata.

Tadi pagi saja, asam lambungku mulai kambuh lagi. Karena terlalu sering menunda-nunda makan. Terpaksalah aku meminum obat agar besok bisa menghadiri acara pernikahan Mita. Tega sekali jika seorang sahabat tidak turut menjadi saksi saat ia melangsungkan akad nikahnya.

Kebetulan hari ini akhir pekan, aku mengajak Luna untuk makan bersama di restoran yang tidak jauh dari sini. Aku ingin menanyakan beberapa hal. Salah satunya tentang pernikahan Nuril. Aku butuh penjelasan lebih jauh, meski hatiku belum siap dilukai berkali-kali dengan harapan yang tidak sesuai ekspetasi.

"Maafkan aku mbak yang gagal menjodohkan kalian berdua."

Permintaan maaf keluar begitu saja dari mulut Luna setelah ia mendengar penuturanku panjang lebar. Sudah kuceritakan juga mengenai perasaanku selama 12 tahun ini. Rasa bahagiaku saat tahu Nuril adalah kakaknya Luna. Hingga kuceritakan dengan sepenuh luka saat aku mengetahui kabar pernikahan Nuril dari mulutnya sendiri di rumah sakit 2 minggu yang lalu.

"Jangan meminta maaf Luna. Kamu tidak bersalah apa-apa." Ujarku mengelus bahu Luna yang tengah tertunduk tanpa berani menatapku.

"Mbak bersyukur sekali sudah dipertemukan dengan Nuril. Meski, di waktu yang tidak tepat. Tapi, Allah memang Maha Baik, Dia beritahu mbak secepat ini tentang rencana pernikahan Nuril. Agar mbak tidak membuang-buang waktu untuk menunggu Nuril lagi." Imbuhku lagi dengan berbesar hati.

"Seharusnya Kak Nuril menikah dengan Mbak Rindang. Aku terlambat mengetahui jika di rumah nenek Kak Nuril sudah bertunangan dengan Mbak Naureen. Ibu tidak pernah menceritakan itu. Aku hanya tahu 8 bulan yang lalu saat Kak Nuril tidak pulang lebaran, ayah mengunjunginya di rumah nenek. Ternyata ada acara pertunangan di sana. Padahal melihat Kak Nuril dan Mbak Rindang bisa menikah itu keinginanku sejak awal-awal mengenal Mbak Rindang." Ujar Luna sambil mengaduk-aduk jus alpukat yang terhidang di hadapannya dengan mata nanar.

Aku menghela nafas sejenak. Perasaan Luna pun berat. Ia kecewa karena harapannya tidak terkabulkan. Sama halnya denganku. Aku tidak bisa menjadi kakak ipar untuk dirinya.

"Mbak lihat Naureen sangat cantik dan elegan. Sangat cocok mendampingi Nuril dibanding mbak." Ucapku pelan.

"Mbak Rindang pun tidak kalah cantiknya. Tidak hanya cantik fisik tapi juga hatinya." Sanggah Luna setelah menyeruput jus alpukat itu.

"Naureen terlihat perempuan baik-baik yang berpendidikan tinggi." Celaku.

"Baru dua kali aku bertemu dengannya. Ia seperti tidak ingin berdekatan denganku mbak. Hanya tampak hangat dengan Kak Nuril dan ayah. Sedangkan dengan ibu ia kelihatan menjaga jarak. Padahal satu bulan lagi ia akan menikah dengan Kak Nuril."

Dear, Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang