Aku berharap sakit Ummi Midah tidak terlalu parah dan masih bisa disembuhkan dengan segera. Bagaimanapun, peran Ummi Midah di dalam yayasan atau di luar itu masih sangat dibutuhkan. Terlebih lagi, Ustadz Zidan sangat memerlukan dirinya untuk menemani setiap langkah.
Beberapa hal yang kutahu, ayah Ustadz Zidan sudah lama meninggal dunia. Ummi Midah memang seorang perempuan single parent yang telah membesarkan anak satu-satunya dengan sangat baik. Ustadz Zidan telah menjadi dosen muda di Universitas Islam Negeri ternama dan calon pengurus perusahaan keluarga yang didirikan oleh almarhum ayahnya. Semoga kelak ia mendapatkan jodoh yang paling baik diantara perempuan baik lainnya.
Aku terperangah dari lamunan, saat mobil yang kunaiki telah melintasi pagar rumah sakit. Lalu, samar-samar dari jauh mataku melihat Nuril dengan seorang perempuan di dalam parkiran. Apakah itu pacar Nuril? Mendadak aku penasaran untuk mengetahuinya. Sayangnya, sekarang aku sedang bersama Ustadz Zidan dan Ummi Midah. Nanti sajalah, saat Ummi Midah diperiksa dokter aku izin sebentar keluar untuk mencari jejak Nuril. Semoga saja nanti bertemu.
Di ruang tunggu, aku dan Ustadz Zidan duduk bersama sambil menunggu Ummi Midah diperiksa di dalam. Aku membuka obrolan terlebih dahulu.
"Bang, tempo hari aku tidak hanya berdua saja dengan Nuril. Tapi, ada Nadin dan Luna juga."
Aku ingin sekali menjelaskan kejadian di toko buku itu. Hanya ingin meluruskan agar ia tidak berprasangka. Tapi, kalau masalah ia cemburu atau tidak aku lepas tangan. Siapa yang tidak cemburu melihat perempuan yang ia sukai sedang bersama laki-laki lain. Begitu pun saat aku melihat Nuril dengan seorang perempuan tadi di parkiran. Hatiku panas. Tapi, sekali lagi aku harus memastikan apakah ada hubungan antara mereka berdua.
"Tidak apa-apa, Rin." Jawab Ustadz Zidan masih belum menoleh ke arahku. Ia masih terpaku memandangi daftar urutan antrian pasien di depannya.
"Syukurlah." Ujarku singkat.
"Boleh aku permisi ke depan sebentar?" Imbuhku lagi.
"Ingin mencari Nuril?"
Jlep. Ternyata Ustadz Zidan melihat Nuril juga di parkiran tadi.
"Carilah tahu dengan siapa Nuril tadi. Abang juga melihat Nuril tadi di parkiran."
"Lalu, bagaimana jika nanti ummi menanyakan keberadaanku?" Ujarku penuh kebingungan.
"Abang bilang kamu sedang di kamar mandi." Ustadz Zidan mulai melihat ke arahku. Ia mencoba meyakinkan aku agar tidak khawatir saat pemeriksaan Ummi Midah selesai sedangkan aku tidak berada di sini.
"Bohong dong." Ledekku dengan raut wajah tertawa.
"Tidak apa-apa. Demi kebaikan kita." Ucapnya tersenyum lembut.
"Kebaikan kita?" Aku mengulang pertanyaannya lagi.
"Pergilah sekarang." Pinta Ustadz Zidan tanpa menjawab pertanyaannku.
Aku pun berlalu menyusuri lorong rumah sakit. Sekali-kali kudongakkan kepala ke arah ruangan yang pintunya terbuka. Semakin jauh aku berjalan seperti ada jejak suara sepatu yang sama dengan langkahku. Duh, hari pun belum juga gelap, mengapa bulu kuduk ku gemetar dan rasanya berbeda. Kubaca berulangkali surah Al Falaq, agar hatiku lebih tenang.
Deg.
Aku melihat Nuril keluar dari sebuah ruangan dokter kandungan. Hatiku berdesir gemetaran, apa yang terjadi? Mengapa mereka ke dokter kandungan? Apakah perempuan itu sedang hamil anak Nuril? Sekelebat pertanyaaanku mulai tertimbun di dalam pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Cinta Pertama
RomansaSejak kapan mulai jatuh cinta? Apakah kamu percaya takdir cinta pertama? Lalu, seberapa lama menahan gemuruhnya di dalam dada? Begitulah yang dirasakan Rindang. Saat keluarganya mendesak untuk menikah, ia tidak kunjung membuka hati untuk laki-laki...