Di rumah sakit, aku banyak menghabiskan waktu untuk tidur sepanjang hari. Tidak ada yang bisa kulakukan jika sudah terkapar sakit seperti ini. Aku tidak bisa membaca buku karena kepalaku terasa berat dengan nyeri perut yang belum pulih sepenuhnya. Sesekali memegang HP, itupun kesulitan karena hanya mengandalkan tangan kiri. Selang infus masih tertancap di tangan kanan.
Aku berusaha menikmati hari-hari di sini. Anggap saja ini waktunya untuk istirahat dan meleburkan segala dosa-dosa. Tidur salah satu cara mempercepat waktu agar malam kembali datang. Siang itu, saat aku mulai tersadar dari tidur, aku mendengar suara samar-samar di sebelah kananku. Tepatnya di kursi yang biasanya diduduki ayah dan bunda saat menungguku.
Aku kaget melihat Ustadz Zidan sedang mengaji di sana. Yang lebih kagetnya dia hanya seorang diri saja. Sejak kapan aku dan Ustadz Zidan berdua di dalam ruangan ini. Jujur, aku malu sekali. Bagaimana mukaku yang pucat ini sedang tertidur? Jangan-jangan ia memandangiku saat aku tidak sadar diri tadi.
Pikiran burukku membuat aku dengan reflek menutup wajah dengan kedua tangan. Jlep. Aku lupa jika tangan kanan ini masih terpasang selang infus. Jarum infus yang menancap di punggung telapak tanganku seketika lepas dan mengeluarkan darah. Rasanya perih sekali hingga aku merintih kesakitan.
Ustadz Zidan melihatku dengan panik. Dia berusaha menenangkanku untuk tidak banyak bergerak.
"Maaf, Rindang. Kehadiran abang di sini membuatmu terkejut. Tunggu sebentar, abang telepon suster untuk memperbaiki selang infusnya."
"Iya, bang. Aku kaget melihat Bang Zidan ada di sini. Aku malu kita hanya berdua saja." Jawabku menahan perih.
"Sepuluh menit yang lalu ada Mita dengan suaminya. Entah ada perlu apa mereka izin keluar sebentar. Jadinya abang sendirian di sini. Eh, maksudnya, berdua sama kamu." Jelas Ustadz Zidan dengan raut wajah merasa bersalah.
"Oh, begitu, maaf aku telah berprasangka buruk . Aku takut abang nanti memandangi wajahku yang pucat ini saat aku sedang tertidur." Ucapku malu-malu.
Tapi, selama sepuluh menit tadi tidak mungkin dia tidak memandangiku. Apalagi dia menyukaiku kan. Aah.
"Sebentar, beberapa detik saja. Lalu, abang membaca Al-Quran dengan wajah menunduk." Jawab Ustadz Zidan mengalihkan pandangan. Semakin hari aku paham, jika dia salah tingkah atau menahan malu dia akan membuang pandang ke arah lain.
"Hem." Dengusku pelan.
Suster yang sedang membenarkan infusku tersenyum tipis. Ternyata ia menyimak pembicaraan kami. Aku jadi geram sendiri melihat Ustadz Zidan dan suster yang berada di dekatku.
Selang beberapa lama, Mita dan suaminya datang. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah suaminya. Maaf, aku tidak bisa menghadiri acara pernikahan Mita. Malah sekarang Mita dan suaminya datang menjengukku. Aku merasa bersalah dan tidak enak hati.
"Sudah bangun Rin?" Mita menghampiriku dengan wajah sumringah. Maklumlah, pengantin baru.
"Sudah, Mita. Dari mana saja? Kamu tinggalkan aku hanya berdua dengan Ustadz Zidan saja di sini." Ujarku memasang muka cemberut.
"Maaf, tadi sebelum ke sini aku lupa beli buah tangan untukmu. Aku permisi sebentar dengan suamiku untuk keluar mencari buah-buahan. Ini buahnya, kutaruh di atas meja ya." Mita menaruh rangkaian buah di dalam keranjang parsel. Sedangkan suaminya sudah duduk di sebelah Ustadz Zidan.
"Terimakasih banyak Mita. Maaf, aku tidak bisa datang di acara pernikahanmu kemarin. Seharusnya kalian menikmati liburan bersama, tapi mengapa malah menghabiskan waktu menjengukku?" Aku menatap Mita dengan wajah serius. Aku tidak mau merusak liburan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Cinta Pertama
RomanceSejak kapan mulai jatuh cinta? Apakah kamu percaya takdir cinta pertama? Lalu, seberapa lama menahan gemuruhnya di dalam dada? Begitulah yang dirasakan Rindang. Saat keluarganya mendesak untuk menikah, ia tidak kunjung membuka hati untuk laki-laki...